Monday, March 1, 2010

Darah dan Airmata Naga di Bumi Garuda

Darah dan Airmata Naga di Bumi Garuda

Jakarta, 2 Maret 2010

Besok malam, Festival Cap Go Meh yang sudah diadakan sejak pekan lalu di JIExpo, Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, akan ditutup. Malam penutupannya akan menjadi begitu meriah. Kontras dengan hiruk-pikuk keceriaan malam penutupan Festival Cap Go Meh 2010 nanti, yang rencananya juga akan dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bertabur selebriti Ibukota keturunan-Tionghoa, seperti Alena, Delon, Gisel; dan juga dipadati para undangan dan penonton, Insan Muda Indonesia mempublikasikan tulisan ini sebagai bahan perenungan terhadap kisah tragedi Tionghoa di Indonesia. Etnis Tionghoa sudah lama menetap di Nusantara, dan seharusnya sudah menjadi bagian dari senyawa Bangsa Indonesia, akan tetapi selalu dianggap ‘orang-asing’, akibat pencitraan terencana dan disengaja oleh otoritas kekuasaan Kolonialisme Belanda (1603-1942) , yang kemudian diwarisi oleh anak-ideologisnya, Orde Baru (1966-1998).

Etnis Tionghoa sudah datang jauh lebih awal sebelum kedatangan Kolonialis-Imperialis Belanda pada abad ke-16. Kedatangan Armada Raksasa Dinasti Ming China dibawah Laksamana Cheng Ho ke Nusantara masih meninggalkan jejak sejarah di Kelenteng Sam Po Kong, Semarang. Gavin Menzies dalam bukunya “1421: The Year China Discovered America” yang diterbitkan tahun 2008 dan menjadi International Bestseller, menyatakan bahwa Armada China dibawah Laksamana Cheng Ho telah menemukan Benua Amerika pada tahun 1421, jauh sebelum Columbus menemukannya pada tahun 1492. Yang patut dicatat dari temuan Gavin Menzies adalah ikhwal kedigdayaan dan keperkasaan Armada Ming-China dibawah Cheng Ho, baik dalam hal Visi-Misi, jarak pelayaran, teknologi perkapalan, besar dan jumlah armada kapal, juga strategi kepemimpinan dan manajemen dari Zheng Ho (China) yang jauh luar biasa melampaui Columbus (Spanyol). Dengan Kedigdayaan Armada Angkatan Lautnya, saat itu Dinasti Ming China adalah Superpower Dunia, dan dapat melakukan ekspansi dan aneksasi kolonial ala Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya, jika China berkehendak demikian. Namun, sayangnya, [dan mungkin juga, untungnya], China tidak mempunyai nafsu kolonialis-imperial nan rakus seperti itu. That’s simply not the Chinese Way! No No! This is because The Chinese Way of Thinking grounds on Confucianism. Fondasi pemikiran China yang dilandasi Confucianisme selalu mengharamkan perang, agresi, dan pertumpahan darah, dan mengagungkan harmoni alam semesta, melalui etika dan moralitas yang akan menjadi konsensus dalam hubungan-hubungan dalam masyarakat. (Dalam Confucianisme dikenal sebagi 5 Hubungan, yaitu Hubungan antara: Ayah – Anak; Saudara Tua – Saudara Muda, Suami – Istri; Sesama Sahabat; dan Raja – Abdi & Rakyat)

Confucianisme adalah suatu filosofi yang dirumuskan oleh Confucius (551 – 479 SM). China saat itu sedang dilanda perang saudara antar-negara vasal yang memperebutkan hegemoni tertinggi di daratan China setelah otoritas pusat Kekaisaran Dinasti Chou (1045 – 256 SM) melemah. Fondasi Moral yang menjadi Sistem Etika, Budaya, dan Sosial yang dirumuskan oleh Raja Zhou Wen Wang (memerintah 1050 – 1046 SM), dan anaknya Raja Zhou Wu Wang (memerintah 1046 – 1043 SM) dalam memerintah bumi dan memimpin manusia, bagaikan dibuang jauh-jauh ke tong sampah. Para Bangsawan dan Adipati hanya memikirkan Politik Kekuasaan untuk Kekuasaan itu sendiri ala Il-Principe nya Nicollo Machiavelli (1469-1527).

Mungkin sudah menjadi sebuah amanat sejarah, apabila perjalanan syiar-pengajaran seorang Nabi selalu ditolak di negeri sendiri dan oleh kaumnya, dimana Yesus ditolak oleh Bangsa Israel, dan Muhammad SAW dimusuhi oleh sukunya sendiri, Bani Quraisy di Mekkah pada awal-syiar kenabian-Nya. Confucius menjalani takdir sejarah yang sama. Meyakini bahwa moralitas dan etika adalah azimat yang dapat menyembuhkan China saat itu, Confucius berusaha mengejawantahkan idealismenya menjadi praksis konkrit melalui usahanya ‘melamar’ lowongan pekerjaan pemerintahan yang strategis pada beberapa Bangsawan dan Adipati, untuk mengadakan suatu perubahan yang dicita-citakannya.

Terbukti, politik bukanlah ranah Confucius. Etika, Moralitas tidak dapat bersenyawa dengan Pragmatisme, Nafsu-Kekuasaan, dan Kepentingan Jangka-Pendek Politis. Berkali-kali Confucius menyingkir, atau terpaksa menyingkir, akhirnya menyerah, dan melupakan mimpinya untuk merealisasikan mimpinya melalui jalan Politik. Berkeliling ke seluruh negeri, sambil mengajar, ia menyebarkan idealismenya akan suatu masyarakat madani yang menjunjung etika, moralitas, dan dipimpin oleh Penguasa yang mempimpin Rakyat dengan Moralitas (semacam Benevolent Ruler ala Plato). Dalam kekecewaan, Confucius akhirnya wafat dalam renta tua usia 73 tahun , tanpa pernah berhasil meraih jabatan politik menentukan untuk merealisasikan idealismenya, namun telah ia semaikan ide itu ke generasi-muda, murid-muridnya, yang selalu mengikutinya selama hidupnya.

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga engkau adalah tembok
tapi di tubuh tembok itu
telah kami sebar biji-biji
.....

(Bunga dan Tembok, Wiji Thukul)

Sepeninggal Confucius, China masih luluh-lantak dalam Perang Saudara selama Dua-Abad lebih. Kekuatan Militer dan Kekerasan seakan mampu mengatasi semua masalah, saat Qin Shi Huang menyatukan China melalui ekspedisi militer, untuk kemudian menobatkan dirinya menjadi kaisar dan memulai rezim baru yang dinamai Dinasti Qin yang seumur jagung (221 – 206 BC) yang penuh dengan penindasan, kerja-paksa, pembantaian intelektual yang beroposisi. Semua kekerasan tersebut dilakukan secara terlembaga dan sistematik oleh kekuasaan, seperti yang terjadi dalam Sejarah Indonesia Modern pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945) dan Order Baru (1966 – 1998).

Kekerasan tidak pernah menang, Jelata Berontak. Pertama kalinya kelas Petani mengorganisasikan dirinya dan memberontak dibawah Chen Sheng dan Wu Guang. Karl Marx akan berteriak parau: “Kaum Tani seluruh China bersatulah”, seandainya ia hidup di masa itu. Dinasti Qin Sirna, kemudian Dinasti Han berdiri. Pada Masa Dinasti Han inilah, Confucianisme didaulat sebagai ideologi dan sistem-tata-kelola pemerintahan dan sosial-budaya atas seluruh China. Moralitas dan Etika akhirnya mampu membuat Dinasti Han lestari sampai 400 tahun kemudian, untuk tumbang pada tahun 220 M. Dinasti-dinasti selanjutnya tetap meneruskan praktik penyelenggaraan negara dan sistem etika-sosial-moral-budaya yang dilandasi oleh Confucianisme. Saat kebudayaan Yunani, Romawi, Mesir, dan terbilang peradaban lain-lainnya sudah punah, sampai detik ini Kebudayaan China sudah berusia 5000 tahun dan mencapai masa keemasannya kembali. Etika-Moral Confucianisme telah menjadi pengawal peradaban China menghadapi ujian zaman, melewati hadangan dan tantangan sejarah dari Kolonialisme, Imperialisme, Perang Dingin, Modernisasi, Era Informasi Teknologi, dan saat ini Globalisasi.

Orang-Orang Tionghoa mula-mula datang ke Nusantara untuk tujuan perdagangan. Mereka menetap di pesisir pantai, dan sebagian menikah dengan wanita pribumi. Terjadi akulturasi budaya dan religi antara Tionghoa dan penduduk setempat. Tolong-Menolong, Rukun, dan Gotong-Royong terjalin dengan begitu sempurnanya. Sebagian menganut Islam, dan bahkan juga menyebarkan Agama Islam. Tercatat beberapa dari Sembilan Orang Wali Sanga, adalah orang Tionghoa atau mempunyai darah Tionghoa. Bahkan Raden Patah, Pendiri Dinasti Demak; kerajaan Islam pertama di Jawa; sang Patron yang melindungi misi syiar Agama Islam para Wali Sanga, adalah seorang Tionghoa yang bernama asli Jin-Bun. Masalah mulai terjadi, setelah Kolonialis-Imperialis Belanda busuk nan rakus mulai menancapkan kekuasaan dekadennya di Nusantara dan menyebarkan racun Rasialisme di antara Suku, Etnis, dan Agama di Nusantara.

Setelah Jan Pieterszoon Coen merebut Jayakarta pada 30 Mei 1619, dan mengubah namanya menjadi Batavia, ia mengundang orang-orang Tionghoa untuk masuk ke Batavia untuk bersama membangun Batavia. Coen yakin sifat ulet, rajin bekerja-keras, dan hemat Etnis Tionghoa akan mempercepat pembangunan kembali Batavia. Waktu berlalu, etnis Tionghoa menjadi semakin kaya dan makmur dari hasil kerja-keras dan keuletannya. Belanda tidak senang akan hal ini dan mulai merasa iri. Pada tanggal 9 – 10 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Belanda saat itu; Adriaan Valckenier (memerintah 1737 – 1741), mengerakkan pasukannya dan melakukan pembantaian pada orang-orang Tionghoa dalam kota Batavia. Massa kulit putih lainnya terprovokasi dan ikut serta dalam amuk massa, menjarah dan membunuhi setiap orang Tionghoa yang dapat ditemui. Tidak ada jumlah korban jiwa yang pasti, namun diperkirakan 5000 – 10,000 orang Tionghoa tewas dalam pembantaian selama 2 hari ini. Konon, Kali Angke menjadi merah oleh darah, dan dari peristiwa inilah Kali Angke mendapatkan namanya (Dalam Dialek China Hokkian, Ang artinya Merah, Kee artinya Sungai / Kali).

Setelah peristiwa pembantaian 1740, orang-orang Tionghoa mengungsi keluar kota, dan tinggal berkelompok dalam kawasan Pecinaan (saat ini kawasan Glodok, dan sekitarnya, pada masa itu kawasan ini terletak di luar benteng kota Batavia). Belanda mengeluarkan peraturan hukum yang melarang orang Tionghoa keluar dari kawasan tanpa izin, dilokalisasi layaknya Pekerja Seks Komersial.

Keculasan Belanda tidak cukup sampai disana saja, kemampuan dagang dan keuletan orang Tionghoa dimanfaatkan. Mereka ditunjuk sebagai distributor hasil bumi, pemungut pajak, dan juga bandar tol dan candu. Fugsi ekonomi Tionghoa dimanfaatkan, dan mereka dikondisikan untuk berhadapaan head-to-head dengan Jelata Miskin yang mayoritas adalah Pribumi. Belanda juga mengeluarkan peraturan hukum yang menggolongkan pembagian kelas penduduk berdasarkan Ras, dimana golongan Eropa berada pada puncak piramida, Timur Asing (termasuk di dalamnya Tionghoa, Arab, Jepang, dll) pada posisi tengah, dan Bumiputra / Pribumi pada strata sosial terendah. Timbullah kebencian dan kecemburuan sosial yang memang sengaja diciptakan, dipelihara, dan dilanggengkan oleh sistem kekuasaan.

Sejak tahun 1945, Indonesia sudah merdeka. Proklamasi dan Perang Kemerdekaan telah membebaskan Indonesia dari kekuasaan politik Belanda. Namun Bibit Rasialisme yang disemaikan Belanda telah tumbuh menjadi Pohon Raksasa Diskriminasi Rasial yang secara sadar dan tidak sadar sudah berurat akar dalam kesadaran kolektif Bangsa ini. Kerusuhan dan Pembantaian Etnis Tionghoa terus terjadi Pasca Kemerdekaan: Bandung (10 Mei 1963), Pekalongan (31 Desember 1972), Palu (27 Juni 1973), Bandung (5 Agustus 1973), Ujungpandang (April 1980), Medan (12 April 1980), Solo (20 November 1980), Surabaya (September 1986), Purwakarta (1 November 1995), Pekalongan (20 November 1995), Bandung (14 January 1996), Sanggauledo (30 Desember 1996), Rengasdengklok (30 January 1997), Ujungpandang (15 September 1997), dan mencapai puncaknya di tahun 1998.

Mulai bulan January 1998 terjadi kerusuhan dan kekerasan Anti-Tionghoa di Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara, Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Berngin, Batangkuis, Percut Sei Tuan. Semua berpuncak pada Tragedi Mei 1998. Orde Baru dibawah Soeharto akhirnya tumbang, dengan darah dan airmata etnis-Tionghoa sebagai salah satu tumbalnya. Kekuasaan Orde Baru yang tegak dengan melanggengkan politik SARA ala Belanda akhirnya harus turun dari panggung sejarah dengan sebuah Kerusuhan Rasial. Tanah Pertiwi basah oleh darah dan airmata etnis Tionghoa yang menggenang, namun raungan tangisnya dianggap sepi kekuasaan. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, yang dibentuk oleh kekuasaan karena desakan publik dan internasional yang kuat untuk mengusut tuntas Tragedi Kerusuhan Mei 1998, seakan berusaha memperkecil besar dan skala kekerasaaan fisik dan pemerkosaan seksual yang telah terjadi pada Etnis Tionghoa, yang juga Warga Negara Indonesia. Diskriminasi warisan Belanda masih terjadi, meskipun Indonesia bukan lagi jajahan Belanda.

Pembunuhan terhadap Tionghoa terus terjadi, baik secara jasmani maupun rohani, secara budaya maupun historis. Dosa dan Aib mereka diumbar, dimana nama Tionghoa mereka diekspos dengan Huruf Kapital di Media Massa, sementara jasa mereka yang telah mengharumkan Bangsa ini diperkecil artinya. Kita berani berteriak mengutuk Anggoro, Anggodo, Arthalita (A-Yin), Edi Tansil, dan lain-lain nama antagonis dengan lantang bahwa mereka Tionghoa. Tapi apakah kita tahu bahwa: Johannes Surya, sang fisikawan; Susi Susanti dan Alan Budikusuma, pasangan emas Olimpiade Barcelona 1992, dan Chris John, sang Jawara Tinju kelas Dunia; berasal dari etnis Tionghoa?

Belanda sudah lama pergi, adalah bodoh apabila kita masih belum bisa mematahkan kutuk Rasialisme yang ditanamkan belanda di bumi pertiwi, Indonesia Tercinta ini.

Persatuan Sejati antara segenap anak bangsa dari Sabang-Sampai-Meruke, tanpa memandang Suku, Agama, dan Etnis, adalah satu-satunya jalan yang akan membawa Indonesia mencapai puncak kejayaannya. Dengan Persatuan Sejati yang diikrarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, hanya dalam waktu 20 tahun, Indonesia mampu menganulir 350 tahun kekuasaan Belanda, dan mencapai kemerdekaan politik.

Kita belum mencapai kemerdekaan sejati. Kemerdekaan Sejati hanya dapat dicapai dengan Persatuan Sejati. Marilah kita lenyapkan segala bentuk Diskriminasi di Nusantara Tercinta ini, demi Indonesia yang lebih baik lagi.