Sunday, February 14, 2010

Bumi Pertiwi Berguncang Menyambut Insan Muda Indonesia

BUMI PERTIWI BERGUNCANG MENYAMBUT INSAN MUDA INDONESIA

Jakarta, 12 Febuary 2010

Apakah ada hubungan antara Bencana Alam (terutama Gunung Meletus dan Gempa Bumi) dengan peristiwa besar dalam Sejarah Sebuah Bangsa? Apakah Alam memberi isyarat atau pertanda akan terjadinya peristiwa besar dalam sejarah anak manusia sebuah Bangsa yang mendiami tanah tersebut? Saya tidak bisa menjawab hal ini dengan suatu pernyataan bernada pasti dalam tanda seru yang besar, namun saya jadi teringat pada potongan lirik lagu Ebiet G Ade berjudul “Berita Kepada Kawan”, yang selalu dipedengarkan kembali di Stasiun TV maupun Radio manakala Negeri ini terguncang bencana alam:

[….]
Barangkali di sana ada jawabnya
Mengapa di tanahku terjadi bencana

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
[….]

(Berita Kepada Kawan, Ebiet G Ade)

Yang jelas ‘rumput yang bergoyang’ takkan bisa menjawab sebab musabab azab alam yang dideritakan pada anak-manusia yang mendiaminya. Apakah Tuhan dan Alam melampiaskan rasa Murka atau Suka, ‘rumput bergoyang’-pun tak akan tahu. Akan tetapi Sejarah Manusia mencatat beberapa kali terjadi Tindakan Alam yang berupa Gempa Bumi dan Gunung Meletus yang seakan merupakan signal isyarat yang diberikan Tuhan YME dan Alam kepada Manusia akan Suatu Perubahan Besar dalam Sejarah Sebuah Bangsa.


China, Era Dinasti Han Timur, Masa Pemerintahan Kaisar Han Ling Di (168-189 M)
Bencana alam senantiasa menghiasi lukisan kusam rezim Kaisar Han Ling Di. Banjir Bandang, Kekeringan, Gempa Bumi, semua azab alam dalam wajah paling kejam silih-berganti melanda China. Bahkan tercatat dalam Romance of The Three Kingdom (Kisah Tiga Kerajaan), di suatu tempat di wilayah China, secara ajaib Ayam Jantan berubah menjadi Ayam Betina.

Memang saat itu Dinasti Han Timur (25 – 220 M) sedang mengalami kebobrokan yang akut. Kaisar Han Ling Di lebih memilih melewati hari-harinya dengan pesta pora, mabuk-mabukan dengan minuman keras, dan wanita penghibur. Ia melalaikan tugas pemerintahan dan menyerahkan jalannya pemerintahan kepada Dewan Sida-Sida (Kaum Kebiri Istana) yang dikepalai oleh Zhang Rang yang begitu Korup. Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dipraktikkan dengan telanjang, blak-blakan, dan tanpa rasa sungkan. Para Pejabat Negara yang Bersih dan Jujur, disingkirkan, difitnah, dan dibunuh. Dinasti Han bobrok dalam ketidakberdayaan, digerogoti dari dalam oleh para penyelenggara negaranya sendiri. Dan memang, seakan sederetan bencana alam tersebut mungkin menyiratkan sudah tercabutnya mandat langit (Tien-Ming) dari Kekaisaran Dinasti Han. Pemberontakan Destar Kuning (184-205), yang berawal dari sebuah Sekte Keagamaan Sinkretis Taoisme dan Ilmu Kebatinan, merobek-robek China, meskipun akhirnya berhasil ditumpas dengan susah payah oleh Pemerintah. Dinasti Han yang sudah kehabisan energi, kemudian akhirnya menyerah pada Perang Saudara antara Penguasa Militer Daerah, untuk kemudian Punah dalam Niskala pada 220 M. China masih terpecah untuk 60 tahun kemudian, diwarnai oleh Perang Saudara Panjang nan Seru antara Tiga Kerajaan: Shu, Wu, dan Wei, yang tak kalah kejam dengan Perang Saudara Bharatayudha antara Pandawa dan Kurawa memperebutkan Tahta Hastinapura. Sama seperti Mahabharata, Perang Saudara antara sesama Bangsa China memperebutkan sisa Kekuasaan Dinasti Han, diabadikan dalam “The Romance of The Three Kingdoms” (Kisah Tiga Kerajaan / Sam Kok).

Dalam sadar, sebagai manusia, kita selalu mengagungkan nilai-nilai perdamaian, kerjasama, toleransi, yang disebut oleh Stephen R Covey dalam bukunya “Seven Habits of Highly Effective People” sebagai Interdependensi (Interdependence). Akan tetapi, apakah dalam alam bawah sadar sebenarnya kita menyimpan sebuah nafsu dan naluri kebinatangan yang kejam nan membunuh seperti diformulasikan oleh Sigmund Freud; Sang Bapak Ilmu Psikologi dan Psikoanalisa; sebagai ID dalam tataran model ID-Ego-SuperEgo? Hal ini jelas terihat dengan laris-manis dan abadinya seni-budaya yang mencitrakan kekerasan dalam bentuk paling ekstrimnya, seperti: Film Action, Film Perang dalam karya seni-budaya modern, sampai Epos Kuno semacam Illiad, Oddyssey (Yunani), Mahabharata (India), dan juga Romance of The Three Kingdoms (China). Disinilah letak pentingnya Pendidikan Moral dan Akhlak, sebagai penyeimbang komplementer dari Pendidikan Intelegensia untuk membentuk INSAN MUDA INDONESIA seutuhnya, paripurna dalam Kecerdesan Intelegensia, Moral, Akhlak, Sosial dan Spritual dalam model ESQ (Emotional Spiritual Quotient)-nya Ary Ginanjar Agustian.

China, 28 July 1976
Gempa Bumi dengan kekuatan 7.8 Skala Richter meluluh-lantakkan Kota Tangshan. Kerusakan yang diakibatkan Gempa Bumi Tangshan ini begitu hebatnya: tercatat 242,000 jiwa tewas, dan kerugian diperkirakan 10 Milyar RMB (dalam kurs Rupiah saat ini kurang lebih Rp 15 Trilyun), membuatnya ditahbiskan masuk ke dalam deretan Gempa Paling Merusak di abad ke-20 pada urutan ke-1, dan Gempa Paling Merusak Sepanjang masa pada urutan ke-2 (Setelah Gempa Shaanxi, China; tahun 1556 di urutan ke-1 yang diperkirakan menelan korban jiwa sekitar 830,000 jiwa).

Bangsa China yang telah berkebudayaaan 5000 tahun amat telaten dan tekun mencatat Sejarahnya. Sama seperti Kitab Pararaton dan Negarakertagama yang dianggap sebagai Teks Kuno yang mencatat Babad Dinasti Majapahit, Sejarah China mengenal 24 kitab kuno (Twenty-Four Histories) yang telah disepakati bersama oleh Para Sejarahwan China Modern sebagai Kanon Sejarah China yang valid. Twenty-Four History adalah 24 kitab-kuno tulisan para Sejarahwan China Kuno yang setiap Bukunya didedikasikan mencatat Babad-Hikayat Suatu Masa-Dinasti dan Kaisar-Kaisar yang memerintah dalam Dinasti tersebut. Penulisan Sejarah Suatu Dinasti adalah tugas dari Sejarahwan dari Dinasti Selanjutnya. Terdapat suatu keberlangsungan dan kontinuitas dalam pencatatan Sejarah, sehingga Sejarah benar-benar dihargai. Dan bila hari ini Peradaban Bangsa China Modern dipuji dan puja oleh Dunia, dan didaulat menjadi Super-Power Dunia yang siap menggantikan Amerika Serikat, ada baiknya kita mengingat kembali Sabda terakhir Putra Sang Fajar Bung Karno sebagai Pemimpin kepada Bangsa Indonesia pada Pidato Proklamasi 17 Agustus 1966: JASMERAH (Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah) agar Bangsa Indonesia. Sejarah membuktikan pada Bangsa China dan Dunia bahwa: Bangsa China yang selalu Menghargai Sejarah, terlah menjadi Protagonis dalam Episode sebuah Drama Kebangkitan dan Puncak Kejayaan sebuah Bangsa yang pernah dijuluki “Sick Man of Asia” pada abad ke 19-20 oleh Negara-Negara Imperialis Barat dan Jepang yang menggerayangi Kedaulatan China yang pada masa itu diperintah Kekaisaran Dinasti Qing (1644-1912). Sick Man of Asia sudah ber-transformasi menjadi Superpower of the World.


Tradisi China amat mempercayai terjadinya Bencana Alam Dahsyat sebagai pertanda alam semesta yang akurat memberikan simbol bagi terjadinya perubahan besar dalam Sejarah Bangsa China). Twenty-Four Histories kaya dengan cerita-cerita Bencana Alam yang mejadi Epilog tumbang-runtuhnya sebuah Rezim Dinasti Lama untuk digantikan oleh Pemerintahan Sebuah Dinasti Baru menjadi Epilog-nya. Bencana Alam adalah Suatu pertanda peralihan sebuah zaman sebelumnya dan sesudahnya, Dialog antara Alam dan Manusia melalui Isyarat dan Pertanda akan Suatu Peralihan sebuah Zaman, dan Zaman Peralihan menuju ke Zaman berikutnya!

Gempa Bumi 28 July 1976 seakan memperingatkan sesuatu yang amat besar akan terjadi dalam Sejarah China, dan Seluruh Negeri China sudah bersiap dengan gelisah. Kurang dari 2 bulan kemudian, tepatnya pada 9 September 1976, Mao Ze Dong (1893-1976), Sang Pemimpin Agung, yang masih dipuja bak dewa sampai hari ini meninggal dunia setelah lama tidak muncul di muka public China, karena terasing dalam sakit yang menggerogoti renta tua usianya. Mao Ze Dong, sama Seperti Soekarno, adalah Founding Father bagi Republik Rakyat China, yang diproklamasikan oleh Mao dan kawan-kawan seperjuangannya pada tanggal 1 Oktober 1949, setelah memenangkan Perang Saudara melawan Pemerintahan Nasionalis Kuomintang (1911-1949) di bawah pimpinan Chiang Kai-Shek (1887-1975). Wafatnya Mao Ze Dong tidak lama setelah Gempa Tangshan, setelah sebelumnya diawali dengan meninggalnya Dua Begawan Revolusi Komunis China lainnya (yang juga merupakan Kawan Seperjuangan Mao selama Revolusi): Zhou En Lai pada 8 January 1976, dan Zhu De pada 6 July 1976, telah membuat 1976 dikenang dalam Sejarah China Modern sebagai “Year of Curse” (Tahun Terkutuk).

Bangsa China meyakini Konsep Yin-Yang yang digali dari Filosofi Taoisme dari Masa China Kuno. Konsep Yin-Yang meyakini bahwa ada unsur positif dan negatif dalam setiap hal, ada hikmah dibalik setiap musibah, dan ada bahaya di setiap bahagia. Apabila Gempa Tangshan ini hendak kita telaah dengan pendekatan Yin-Yang. Maka Bencana Tangshan mempunyai akhir cerita yang tidak terlalu buruk. Meski Kota Tangshan lebur hancur lantak dalam Gempa Tangshan 28 July 1976 karena sebagian besar Bangunan dibangun dengan material yang tidak-tahan-gempa berdiri di atas Tanah Aluvial yang rapuh, namun Pemerintah RRC segera membangun kembali Kota Tangshan secara besar-besaran, melengkapinya dengan infrastruktur modern, dan akhirnya jadilah Kota Tangshan Baru yang Modern dan Indah. Kota Tangshan juga diberi gelar “City of the Brave” (Kota Para Pemberani) oleh Pemerintah RRC untuk mengenang jiwa-raga yang tewas dalam Gempat Tangshan 28 July 1976. City of The Brave was built after The Year of Curse.

Bagi Bangsa China, Bencana adalah Pertanda yang diberikan Alam untuk sebuah Keruntuhan dari Suatu Kemapanan yang sudah Kadaluwarsa untuk Pembentukan Sebuah Awal Baru yang lebih Segar, Dinamis, dan Progresif. Yin dan Yang; Baru dan Lama; Baik dan Buruk, Tesa dan Anti-Tesa yang bersintesa dalam suatu Dialektika yang Dinamis.

Gunung Kelud, Hindia Belanda, 22 – 23 Mei 1901
Gunung Kelud, yang terletak di perbatasan Kabupaten Blitar dan Kediri meletus. Letusan dimulai pada pukul 00:00 – 01:00 WIB, dan mencapai puncaknya pada pukul 03:00. Penduduk setempat sebagai bagian dari yang amat mempercayai mistik; seakan melihat Letusan Gunung Kelud ini sebagai suatu pertanda alam. Memang, Bumi dan Manusia Hindia-Belanda pada saat itu telah melewati banyak penderitaan di bawah Penindasan Sistem Imperialisme-Kolonialisme Kerajaan Belanda sejak 1800.

Perlawanan-demi-perlawanan
, Pemberontakan-demi-pemberontakan, tumbang satu demi satu dalam kegagalan dan tragedi. Perang Diponegoro, sebagai Perlawanan terhebat terhadap Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda telah berakhir 70 tahun sebelumnya pada 1830. Sejak saat itu, satu demi satu wilayah Nusantara dianeksasi oleh Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, agresi hanya bisa dilawan Manusia Nusantara dengan epilog tragedi kekalahan demi kekalahan: Minangkabau – Imam Bonjol (1837), Banjarmasin – Pangeran Antasari (1863), Lombok (1894). Seluruh Nusantara hampir semua berhasil dimasukkan ke dalam kekuasaan Imperialisme Belanda sampai saat itu, kecuali Tapanuli yang baru berhasil ditaklukkan tahun 1907, dan Aceh yang tidak pernah berhasil benar-benar ditaklukkan. Gunung Kelud meletus, pada saat harapan dan asa Manusia Nusantara berada pada titik nadir terendahnya. Letusan Gunung Kelud membuat Manusia-Jawa yang sangat mistis itu berusaha mecari arti dan tafsir dibalik pertanda alam yang kurang ramah tersebut. Tepat Dua Minggu Kemudian, 6 Juni 1901, Kusno dilahirkan dari rahim Idayu Nyoman Rai Serimben. Ayahnya adalah Raden Sukemi Sosrodiharjo. Bayi itu tumbuh dewasa, dan kemudian lebih dikenal dengan nama SOEKARNO yang kemudian menjadi Pemimpin yang berhasil mempersatukan seluruh Bangsanya dalam suatu Revolusi Maha-Dahsyat, yang akhirnya membebaskan Manusia Nusantara dari Penjajahan Belanda yang 44 tahun sebelumnya tampak tidak mungkin dan tidak dapat terkalahkan sama sekali. Letusan Gunung Kelud 22-23 Mei 1901 adalah sebuah pertanda alam untuk lahirnya Sang Pemimpin Pembebas Bangsa Indonesia.

10 January 2010, Tasikmalaya, 07:25 WIB
Gempa Bumi terjadi [lagi] di Tasikmalaya dengan kekuatan 5.4 SR, setelah belum lama sebelumnya, pada 2 September 2009, Tasikmalaya terguncang Gempa Bumi dengan kekuatan 7.3 Skala Richter yang berefek cukup parah. Namun berbeda dengan Gempa Bumi 2 September 2009 yang terjadi 4 bulan sebelumnya, Gempa Bumi Tasikmalaya kali ini, yang terjadi pada 10 January 2010, jauh lebih ringan, baik dalam kerugian material maupun kerugian jiwa. Gempa Tasikmlaya 10 January 2010 ini hanya menelan satu orang korban jiwa, Upun Wihardis (65 tahun), warga Kampung Wates, Desa Sinarbakti, karena serangan jantung. Gempa Tasikmalaya 10 January 2010 yang terjadi pada pukul 07:25 ini seakan memberikan sebuah Pertanda Alam akan kebangkitan kembali Bangsa ini yang sudah lama terbenam dalam krisis-keterpurukan multidimensi, dan juga ketidak-percayaan-diri. Mungkin Alam sudah bosan pada ulah-polah-tingkah Manusia Indonesia yang sudah begitu dekaden, korup, egois. Bangsa Indonesia sudah cukup terpuruk dan menderita. Alam memberi pertanda lewat Gempa Tasikmalaya 10 January 2010 pukul 07:25 WIB pagi, akan suatu peristiwa penting bersejarah yang terjadi di Ibukota negeri, Jakarta, kurang lebih 35 menit sesudahnya, pukul 08:00 WIB.

10 January 2010; Jakarta, Stasiun RRI, 08:00 WIB, Siaran PRO2FM
Insan Muda Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mengkomunikasikan Visinya untuk Mimpi Indonesia Jaya, pada pukul 08:00. Acara dipandu oleh Penyiar PRO2FM, Yanti Yusfid. Insan Muda Indonesia diwakili oleh Agus Salim (Wakil Ketua Umum), dan Imanuella Debora (Sekjen). Kedua Insan tersebut begitu berapi-api dalam menyerukan Api Nasionalisme Indonesia selama sejam acara disiarkan. Banyak sekali SMS yang masuk sebagai bentuk dukungan pada Insan Muda Indonesia dan cita-cita sucinya. Sangat mengharukan ketika Lagu Mars Insan Muda Indonesia disiarkan on-air ke seluruh penjuru nusantara melalui corong PRO2FM. Lagu Mars Insan Muda Indonesia adalah sebuah lagu yang didedikasikan oleh Doline Warnerin, seorang putera Tasikmalaya, pencinta Indonesia Sejati, sebagai pengejawantahan simpati dan apresiasi Doline atas cita-cita Insan Muda Indonesia.

10 January 2010, Tasikmalaya berguncang oleh gempa bumi hebat pada pukul 07:25, tanpa korban jiwa sebagai akibat langsung dari bahasa-isyarat-alam itu, karena memang Alam berguncang kali ini bukan untuk memberi azab dan hukuman, akan tetapi untuk berseru dengan penuh suka cita, akan lahirnya sebuah harapan baru bagi Indonesia. Tasikmalaya berguncang karena bangga akan karya seorang putranya, Doline Warnerin: Lagu “Insan Muda Indonesia” yang akan menjadi lagu perjuangan, lagu pemersatu bagi seluruh Manusia yang berdiam dari Sabang sampai Merauke, yang sudah bosan pada keterpurukan, yang sudah muak pada rasa inferior akan sebuah nama Indonesia.

Terimakasih Alam, Terimakasih Tasikmalaya, Terimakasih Doline Warnerin
Terimakasih Indonesia.

Insan Muda Indonesia Sudah Siap untuk Mengemban Amanat Sejarahnya: Mendengungkan Teriakan Persatuan, dan Berbagi Suatu Mimpi Indah untuk Indonesia Jaya, Indonesia sebagai Mercusuar Dunia!

Tangshan, China, 1976. Tangshan diberi nama City of The Brave oleh Pemerintah Republik Rakyat China sebagai penghargaan atas para korban Gempa Tangshan. They have died, as ‘The Braves’ never be able to witness the mighty of China today.

Indonesia, Mulai 10 January 2010 sampai Akhir Zaman
Setelah Gempa Tasikmalaya, pukul 07:25 yang menyambut cita-cita Indonesia Jaya yang disabdakan Insan Muda Indonesia melalui RRI PRO2FM 35 menit kemudian pada pukul 08:00 WIB, maka untuk seterusnya sampai akhir zaman, Indonesia akan selalu menjadi The Nation of The Braves. Indonesia adalah Bangsa Para Pemberani.

Terimakasih bagi para pendengar yang sempat mendengarkan siaran live on-air Insan Muda Indonesia. Terimakasih pada Mbak Yanti Yusfid yang telah memandu acara yang begitu emosional dan menggelora oleh seruan-seruan Agus Salim dan Imanuella Debora dari Insan Muda Indonesia. Terlebih kepada para pendengar yang sempat mengirimkan SMS berisi pertanyaan maupun pernyataan, saran maupun kritik, Terima Kasih Banyak!

Kepada Keluarga Bapak Upun Wihardis (65 tahun) yang telah meninggal akibat serangan jantung pada Gempa Tasikmalaya, Insan Muda Indonesia mengucapkan Bela-Sungkawa yang sedalam-dalamnya. Insan Muda Indonesia berdoa bagi arwah Pak Upun Wihardis, agar semua amal-ibadahnya diterima di sisi Tuhan YME.

Kepada Seluruh Bangsa Indonesia: Marilah mulai hari ini, kita menjadi seorang pemberani. Berani meleburkan ego-ego dan identitas-identitas sempit kita, entah itu suku, agama, ras, mapun golongan, untuk bersatu di bawah Sang Saka Merah Putih. Berani Mencintai Ibu Pertiwi Indonesia, dan Berani Berbagi Mimpi: INDONSIAN DREAM: Sebuah Indonesia yang Jaya, Makmur, dan Adil seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang telah merupakan surat wasiat Para Pendiri Bangsa Ini.

“Kalau mati dengan berani. Kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada—itulah sebabnya semua bangsa asing bisa jajah kita.”
(dari Novel :”Larasati”, karya Pramoedya Ananta Toer)


- Agus Salim -

Hang Nadim dan Tuah Sumpah Hang Tuah

Hang Nadim dan Tuah Sumpah Hang Tuah

Jakarta, 1 Febuary 2010

Minggu lalu, saya berkunjung lagi ke Jambi untuk kesekian kalinya. Memang saya selalu berkunjung ke Jambi dalam frekuensi waktu tertentu untuk menengok Ayah saya yang berdomisili di Jambi sejak tahun 1999.

Berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya ke Jambi, kali ini saya sempat bertamasya ke Pulau Batam dan Singapura selama beberapa hari bersama ayah.

Adalah hal yang menyenangkan lagi melegakan hati dapat meluangkan waktu bertamasya bersama ayah tercinta, dimana waktu untuk bersua dengan ayah pun sudah sedemikian langkanya, dimana ruang, waktu, kewajiban pekerjaan, kesibukan pribadi dan lain-lain hal menjadi dimensi yang memisahkan saya dan ayah. Hanya Cinta yang tulus masih dapat menyatukan kami.

Saat menjejak kaki di Bandara Udara Batam, barulah saya mengetahui nama Bandar Udara dari Pulau Batam: Bandar Udara Hang Nadim, yang tercetak gagah menantang langit, menghiasi cakrawala angkasa raya di sekitar airport. Bandar Udara adalah bagai serambi sebuah negeri, dan gerbang bagi para pelancong. Tak heran, semua negara berlomba mempercantik Bandar Udara sebagai Gerbang Negeri-nya.

Berbeda dengan negara-negara tetangga lainnya di kawasan ASEAN; Indonesia selalu memberikan nama bagi hampir semua Bandar-Bandar Udara yang tersebar di seantero Nusantara dengan Nama Pahlawan Revolusi, Pejuang Kemerdekaan, ataupun Pahlawan-Pahlawan dari Zaman Sejarah Indonesia Feodal Kuno.

Hal ini amat jelas dengan penamaan Bandar Udara Utama Indonesia di Ibukota Jakarta, serambi negeri dan pintu gerbang pelancong ke Indonesia: Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, yang mengabadikan nama dwitunggal proklamator Bapak-Bangsa, Soekarno-Hatta, sebagai perbandingan dengan Changi International Airport (Singapore), Kuala Lumpur International Airport (Malaysia), dsb.

Begitu pula dengan Bandar Udara di setiap ibukota propinsi maupun kota-kota lainnya dari Sabang-Sampai-Merauke, hampir semuanya dinamai dengan nama tokoh pahlawan dan pejuang Indonesia, baik dari era kontemporer maupun kuno, seperti: Juanda (Surabaya), Ngurah Rai (Bali), Halim Perdanakusuma (Jakarta, sebelum Soekarno-Hatta), Fatmawati Soekarno (Bengkulu), Sam Ratulangi (Menado), Adi Sucipto (Yogyakarta), Adisumarmo (Solo), Achmad Yani (Semarang), Husein Sastranegara (Bandung), Sultan Hasanuddin (Makassar), Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang), Sultan Thaha (Jambi), Sultan Iskandar Muda (Aceh), Pattimura (Ambon), Raden Inten II (Bandar Lampung), dan yang baru saya singgahi: Bandar Udara Hang Nadim, Batam. Namun siapakah Hang Nadim ini?

Saya dan sebagian besar dari anda semua sudah tentu lebih sering mendengar nama Hang Tuah ketimbang Hang Nadim. Hang Tuah adalah Laksamana gagah perkasa, sakti mandraguna lagi cerdik cendekia nan bijaksana dari Kesultanan Melaka yang bersama dengan ke-empat sahabatnya: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu, mengabdi di bawah pemerintahan Sultan Mansur Shah (1459-1477) pada masa pemerintahan Dinasti Kesultanan Melaka (1402-1511).

Lima Sekawan Hang bahu membahu dengan Bendahara (Perdana Menteri) Tun Perak dengan segenap kemampuan dan pengabdian berhasil membawa Kesultanan Melaka ke Puncak Kejayaannya, sehingga di masa Pemerintahan Mansur Shah kekuasaan Kesultanan Melaka berhasil berekspansi ke Selangor, Bernam, Siak, Munjuru, Rupat, Singapura, Bintan, dan Pahang. Kombinasi antara ekspedisi militer dan strategi perkawinan politik berhasil membuat Kerajaan tetangga tunduk di bawah pengaruh kekuasan Sultan Mansur Shah.

Kesuksesan Hang Tuah, ditambah dengan kemahirannya dalam bersilat dan juga mitos seputar kesaktiannya membuatnya laksana tokoh separuh-dewa, dan dikenang generasi kemudian sampai hari ini baik di Indonesia maupun Malaysia.

Makamnya di Tanjung Keling, Malaka dipugar megah oleh pemerintah Kerajaan Malaysia masih dapat diziarahi saat ini, menjadi Simbol Kedigdayaan dan Kebanggaan Bangsa Melayu di masa silam bagi Rakyat Malaysia. Di Indonesia, nama Hang Tuah dan ke-4 sahabatnya diabadikan sebagai nama Jalan-Jalan di bilangan Menteng, Jakarta, dan juga di kota2 lain di seluruh Indonesia.

Nama Hang Tuah juga diabadikan menjadi nama salah satu nama Kapal Perang TNI AU: KRI Hang Tuah. KRI Hang Tuah adalah sebuah Korvet milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang diserahkan kepada Indonesia sebagai realisasi dari Konferensi Meja Bundar 1949 yang mengakui eksistensi Bangsa Indonesia yang baru lahir dari rahim sejarah secara berdarah-darah melalui Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949.

Tuah KRI yang dinamai Hang Tuah seakan ikut menumpas pemberontakan RMS tahun 1950. Namun Tuah 'Hang Tuah' harus tamat pada 28 April 1958, dimana KRI Hang Tuah tenggelam di Perairan Balikpapan, Kalimantan Timur, setelah ditembak jatuh 2 pesawat pembom Douglas B-26 Invader yang dikemudikan Allen Lawrence Pope, seorang pilot bayaran asal Amerika Serikat, yang berperang di pihak Permesta. Inilah sekeping puzzle dari sebuah Mosaik Besar sebuah Lukisan yang bercerita tentang interfensi dan pelecehan Amerika Serikat di sebuah negeri yang bernama Indonesia. Sebuah kisah tentang cita-cita kemerdekaan untuk berdaulat sepenuhnya dan mandiri, yang harus berakhir setelah G-30-S pada tahun 1965, dan Orde Baru menghujamkan paku terakhir pada peti mati kedaulatan dan kemerdekaan sejati Indonesia.

Sejak saat itu, sampai hari ini, bisa dibilang Indonesia adalah Negeri Merdeka yang setengah jajahan. Terjajah kedaulatannya, ekonomi, dan juga budayanya. Kita sedang mengalami krisis identitas maha parah.

Sepeninggal Mansur Shah, Kesultanan Melaka diperintah oleh para pengganti yang kualitas kepemimpinannya tidak sebaik beliau. Hang Tuah pun akhirnya wafat, namun beruntungnya Kesultanan Malaka masih mempunyai seorang Laksamana cakap, cendekia nan tangguh yang menjadi pengawal dinasti. Ia adalah Hang Nadim.

11 September 1509
Armada Portugis berjumlah 4 Kapal dibawah pimpinan Admiral Diego Lopez De Sequiera mendarat di Malaka. Diego diperintahkan Raja Manuel I untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Malaka.

Atmosfir Politik Dunia saat itu dalam situasi panas karena konflik Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah. Seluruh dunia Kristiani dan Muslim mau tak mau turut larut dalam Konfrontasi Perang Salib, lebur dalam atmosfir konflik maha panas nan kejam seperti era Perang Dingin antara USA dan Soviet pada akhir abad 20.

Raja Manuel I (Portugal) saat itu secara Geopolitik termasuk dalam Kubu Kristiani, mempunyai Visi Besar dalam rangkaian Strategi dan Kamapanye Politik-Militer yang dinamakan Reconquista (Penaklukkan Kembali) untuk membalas kekalahan Kristen dibawah Islam pada Perang-Perang Salib sebelumnya. Visi Manuel I adalah untuk memblokade Ekonomi Dunia Muslim dengan menguasai arus Perdagangan Dunia yang berpusat pada 3 Pelabuhan Utama Dunia: Aden, Ormuz, dan Malaka. Malaka adalah salah satu target untuk dikuasai dalam Visi Besar Agresi Rakus Manuel I.

Niat Bukus nan Rakus Imperial Portugal untuk menghujamkan Kolonialisme di tanah Malaka tercium oleh Mansur Shah, dan para menterinya merumuskan solusi pembunuhan pada Diego. Beberapa awak kapal Portugal tertangkap dan dibunuh, namun Diego berhasil lolos dengan armadanya kembali ke Portugal.

Manuel I murka dan mengirimkan Alfonso D' Albuquerque (1453-1515) dengan armada berkekuatan 17-18 kapal dan prajurit berjumlah sekitar 1200 orang untuk melaksanakan eksepedisi penghukuman atas Malaka.

Serangan pertama pada Juli 1511 gagal menaklukkan pertahanan kuat Malaka, namum Serangan Kedua pada Agustus 1511 berhasil merebut Malaka, ibukota Kesultanan Malaka. Ibukota Direbut, Sultan Mahmud Shah terpaksa melarikan diri dari Ibukotanya untuk melakukan perlawanan. Portugis segera membangun benteng kokoh A Famosa, bersiap menghadapi serangan balik Malaka, sekaligus aktif memburu Mahmud Shah dalam pelarian, untuk membasmi perlawanan Malaka sampai tuntas tak bersisa. Dinasti Malaka di ujung tanduk, seakan tinggal menghitung hari menunggu hari akhirnya, Sirna Ilang Kertabumi.

Sejarah adalah panggung bagi para Aktor Sejarah, dan Aktor Sejarah adalah pengemban misi suci untuk menciptakan takdir sejarah, memahat prasasti histori indah nan megah untuk kenangan generasi berikutnya. Aktor pelaku sejarah jualah penenetu arah Sejarah dengan segenap Kemauan Keras dan Kemampuan Lawas-nya mengubah Arah Takdir Sejarah, dan mengemban peran Mesias, yang menyelamatkan sebuah Bangsa.

Bagi Dinasti Malaka dan Mahmud Shah saat itu, pada hari-hari terpanjang nan sulit bagi kelangsungan eksistensi sebuah pemerintahan, Mesias dan Aktor Sejarah itu adalah Hang Nadim.

Hang Nadim dilantik menjadi Laksamana Kesultanan Melayu menggantikan Laksamana Khoja Hasan yang wafat. Epos Laksamana Dinasti Melayu terbesar setelah Hang Tuah dimulailah. Bila Hang Tuah mendampingi Mansur Shah membawa biduk Dinasti Malaka menuju Puncak Kejayaannya, bagai peran Gajah Mada mendampingi Hayam Wuruk dalam Alegori Histori Majapahit, maka amanat sejarah yang diemban Hang Nadim jauh lebih berat: Mengawal Dinasti Malaka melewati masa-sulitnya dan menyelamatkannya dari Kepunahan. Pendahulu Hang Nadim, Sang Laksamana Hang Tuah, pernah mengucap sumpahnya: 'Takkan Melayu Musnah dari Dunia'. Seperti Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya untuk mempersatukan Nusantara dibawah Panji Majapahit, yang telah ditunaikan selama hidupnya, maka adalah Tugas Sejarah Hang Nadim untuk menunaikan Sumpah Hang Tuah atas kesinambungan Eksistensi Melayu dibawah Dinasti Malaka.

Hang Nadim menunaikan Amanat Sejarah itu dengan Sangat Baik. Dua kali Nadim memimpin Armada Malaka menyerang Benteng A Famosa di Malaka, pada tahun 1519 dan 1524 untuk merebut kembali Malaka dan mendudukkan kembali Tahta Mahmud Shah ke Ibukota Malaka. Pada penyerangan tahun 1524, Hang Nadim hampir berhasil merebut kembali Malaka. Benteng A Famosa dikepung rapat oleh Laskar Malaka, Portugis frustasi dan hampir menyerah. Namun Kekuatan Bala Bantuan Portugis dari Goa datang tepat pada saat-saat kritis, dan terjadi pertempuran sengit yang berhasil mematahkan kepungan Laskar Malaka yang harus mundur kembali ke Bintan, Ibukota Pemerintahan Mansur Shah dalam pelarian.

Kepemimpinan Hang Nadim juga berkali-kali berhasil mematahkan Invasi militer Portugis yang bernafsu rakus melenyapkan Melayu dibawah Kesultanan Malaka selama-lamanya dari Muka Bumi. Hang Nadim berhasil menunaikan Sumpah Hang Tuah untuk mempertahankan eksistensi Melayu dibawah Dinasti Malaka di hari-hari terbiadab seakan tanpa harap. Portugis akhirnya terpaksa menerima posisi stalemate dengan Malaka.

Kelelahan dan frustasi karena kegagalan merebut kembali Malaka pada ekspedisi militer tahun 1524, tak lama setelah itu, Hang Nadim wafat di Pulau Bintan. Makamnya di Desa Busung, Kecamatan Bintan Utara, Pulau Bintan, yang saat ini secara administratif masuk ke dalam Propinsi Kepulauan Riau, masih berdiri tegak nan gagah, seakan dalam Pusaranya Hang Nadim masih berani berbisik: 'Takkan Melayu Hilang Di Dunia'.

Sepeninggal Hang Nadim, Mahmud Shah melupakan mimpinya untuk merebut kembali Ibukota Malaka, dan meninggalkan Pulau Bintan, yang selama ini merupakan basis perlawanan terhadap Portugis dalam merebut kembali Malaka, pada tahun 1526. Mahmud hijrah ke Kampar, Riau, dan dinobatkan menjadi Sultan disana.

Mahmud memerintah di Kampar hanya 2 tahun, sampai wafatnya pada tahun 1528 dan dimakamkan disana. Makamnya masih ada dan dirawat penduduk setempat sampai sekarang. Oleh penduduk setempat Ia dikenal juga dengan nama 'Marhum Kampar'.

Sepeninggal Mahmud Shah, kedua putranya meninggalkan Kampar. Salah satunya mendirikan Kesultanan Johor, dan lainnya Kesultanan Perak, yang masih ada sampai saat ini di Malaysia. Walaupun tidak mempunyai kekuasaan politik lagi, namun segenap adat, budaya, dan pranata Kedua Kesultanan tersebut masih lestari dan dilindungi Pemerintah Malaysia. Warisan Kesultanan Malaka tetap tegak berdiri di era globalisasi ini.

Hang Nadim menunaikan amanat sejarah yang dibebankan kepadanya dengan paripurna selama periode tersulit kekuasaan Mansur Shah pasca direbutnya Ibukota Malaka (1511) selama 15 tahun perang dengan Portugis (1511-1526) dalam mempertahankan kelangsungan hidup pemerintahan Mansur Shah. Meskipun Ia tidak berhasil merebut kembali Malaka dan mengusir Portugis, perannya amat signifikan dalam mempertahankan kesinambungan kekuasaan Raja-nya dan keturunannya. Ia telah menjaga Tuah Sumpah Hang Tuah akan keabadian eksistensi Melayu: 'Takkan Melayu Hilang di Dunia'.

Insan Bangsa yang Mempunyai Sifat-Sifat Kepahlawanan: Berkemampuan Lawas juga Berkemauan Keras dengan dilandasi Rasa Cinta Tanah Air yang Patriotik, dan Pengabdian yang Tulus, telah menjadi Juruselamat dari Dinasti Malaka.

Indonesia, sebagai negeri pusaka dengan bhineka suku, ras, kultur, dan agama, meski mempunyai kondisi objektif sosial-budaya yang berbeda dengan Dinasti Malaka yang berpenduduk ras-tunggal (Melayu). Namun Indonesia juga mengalami pengalaman sejarah yang koheren dengan Sejarah Perang Malaka - Portugis 1511-1526 dalam Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-49, dimana segenap Bangsa ini: Tua, Muda, Pria, Wanita, dari semua Agama, Suku, Ras, dan lintas lapisan ekonomi dan sosial, begitu tersihir akan satu mantra sakti yang bernama: Kemerdekaan, telah rela mengorbankan segalanya: Harta, Keluarga, dan Juga Nyawa, demi sebuah Kemerdekaan. Mereka semua telah hidup menjalani sifat pahlawan, dan mati sebagai pahlawan, dikenang ataupun tidak dikenang, dicatat maupun tidak dicatat.

Marilah Kita Menjadi Pahlawan Saat Ini Juga, Demi Indonesia yang Lebih Baik Lagi!

Takkan Indonesia Hilang dari Dunia!

Liputan Natal bersama Anak-Anak Panti Asuhan PNIEL 30 Des 2009

Liputan Natal bersama Anak-Anak Panti Asuhan PNIEL 30 Des 2009

Jakarta, 4 January 2009

Di penghujung tahun 2009, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2009, Insan Muda Indonesia mengunjungi Panti Asuhan PNIEL di daerah Bintaro untuk berbagi Keceriaan dan Damai Sejahtera Natal bersama anak-anak Panti Asuhan PNIEL.

Apabila pada tanggal 13 September 2009 yang lalu, Insan Muda Indonesia mengunjungi Panti Asuhan RSPA Bambu Apus untuk mengadakan silaturahmi dan buka puasa bersama dengan anak-anak penghuni panti asuhan yang diisi acara seminar tentang Keindahan Alam, dan Sejarah Indonesia, dan menyanyikan lagu-lagu nasional bersama-sama, maka kali ini, Insan Muda Indonesia mengunjungi anak-anak Panti Asuhan yang beragama kristiani. Hal ini adalah pengejawantahan dari Idealisme Insan Muda Indonesia akan Indonesia yang Bersatu dalam Pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika.

Dibuka dengan paduan suara lagu rohani kristiani dari anak-anak Panti Asuhan PNIEL, Acara dilanjutkan dengan kata pembuka oleh Ketua Umum Insan Muda Indonesia, Bung Erlangga Patria Sjamsuddin Mangan, setelah sebelumnya Lagu Indonesia Raya dan Mars Insan Muda Indonesia dinyanyikan bersama.

Presentasi mengenai Pulau Komodo sebagai salah satu Keajaiban Dunia dari Indonesia, dan juga Selayang Pandang Sejarah Indonesia dibawakan oleh Bung Agus Salim, dan Imanuella Priskila Debora; yang juga merupakan anggota dari Dewan Eksekutif Insan Muda Indonesia. Rachel Rebecca Rose Kaligis memimpin Doa bersama secara Kristiani yang diikuti seluruh anak-anak dan para manula penghuni PNIEL. Duet suara Rachel dan salah seorang putra PNIEL menyanyikan sebuah Lagu Rohani Kristiani yang cukup populer. Sara Puspita Dewi mendokumentasikan moment demi moment selama acara melalui jepretan kameranya yang apik. Bapak Randy Moein dan Bung Eduard Dona Ricky juga turut hadir dan membantu proses berjalannnya acara.

Insan Muda Indonesia akan lebih sering lagi mengunjungi anak-anak Panti Asuhan di seantero Nusantara, saudara-saudari Sebangsa kita yang kurang beruntung, namun di tangan tunas bangsa muda seperti merekalah Indonesia akan menapak masa depannya. Dukung terus Insan Muda Indonesia. Bagi saudara-saudari setanah air sekalian yang bersimpati pada Perjuangan Insan Muda Indonesia untuk mewujudkan Mimpi Indonesia, dapat mentransfer ke:

BANK JABAR BANTEN
a/n Yayasan Citra Insan Teladan Indonesia
No Rekening: 0008933863001
(Dapat ditransfer dari Bank manapun termasuk BCA dan Bank Mandiri, tanpa biaya apapun)

Ayo, bersama kita melalukan sesuatu hal yang kecil untuk Indonesia sekarang juga!


Jayalah Indonesia!

Agus Salim

DUKUNG IMI PEDULI SUMBAR: SEMUA BERSATU UNTUK SEMUA!

DUKUNG IMI PEDULI SUMBAR: SEMUA BERSATU UNTUK SEMUA!

Jakarta, 17 Desember 2009

Karl Marx (1818-1993), salah seorang Filsuf Jerman yang dianggap paling gemilang pada zamannya, pernah menulis: “History Repeats Itself, First as Tragedy, Second as Farce”. Sejarah Selalu Berulang, Pertama sebagai Tragedi, dan Kedua kalinya sebagai Lelucon. Ungkapan ini seakan begitu paralel dengan kedua-tanggal yang identik dengan tragedi dan kesan tertumpahnya darah Anak Bangsa dalam sejarah Bangsa Indonesia: Tanggal 30 September dan 1 Oktober. Sejarah Berulang di kedua tanggal tersebut.

Tahun 1965, 30 September – 1 Oktober
Persuaan Bangsa Indonesia dengan Tanggal 30 September dan 1 Oktober pertama kalinya adalah pada tahun 1965. Sekelompok perwira yang sebagian besar tergabung dalam Kesatuan Pasukan Cakrabirawa dibawah pimpinan Letkol Untung Samsuri dan Kolonel Abdul Latief yang bermarkas di Bandara Udara Halim Perdanakusumah mengadakan aksi penculikan yang ditargetkan pada 7 Jenderal pucuk pimpinan Angkatan Darat saat itu. Ketujuh Jenderal tersebut dicurigai membentuk Dewan Jenderal yang berniat melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah di bawah Presiden Soekarno saat itu. Rencana Letkol Untung dan Kol Latief yang menamakan dirinya Gerakan 30 September itu akhirnya berkembang menjadi sebuah rangkaian peristiwa aneh nan misterius yang bahkan belum terungkap jelas sampai hari ini. 30 September – 1 Oktober 1965 adalah kedua tanggal yang akhirnya menentukan arah sejarah Bangsa Indonesia 30 tahun ke depan.

Walau dalang dibalik Gerakan 30 September itu belum jelas sampai saat ini, hasil akhir dari peristiwa itu sama-sama kita ketahui: 6 Jenderal Puncak Angkatan Darat dan Seorang Kapten Angkatan Darat dibunuh dan dimasukkan ke dalam Sebuah Sumur Sempit di Lubang Buaya, PKI dipaksa menjadi Antagonis Sejarah dengan Posisi Tertuduh sebagai Dalang peristiwa yang awalnya terkesan sebagai konflik intern dalam tubuh Angkatan Darat tetapi kemudian dideviasikan oleh pihak yang berkepentingan sebagai sebuah upaya Perebutan Kekuasaan (coup de’tat) terhadap Pemerintahan yang Sah di bawah Presiden Soekarno, sang Pemimpin Besar Revolusi. Soekarno sendiri akhirnya terjungkal dari posisi pucuk kepemimpinan bangsa.

Seluruh Lapis Strata Sosial terpengaruh oleh Tragedi ini: Menteri, Anggota Parlemen, Anggota TNI, Aktivis Pemuda, Cendekiawaan, Budayawan, Sastrawan, bahkan sampai Wanita Pekerja Seks Komersial, asalkan mereka dianggap sebagai pihak-pihak Pro Soekarno atau PKI, ditangkap, dibunuh, ditahan tanpa proses pengadilan yang jelas, dan diberi cap PKI yang terus melekat sampai ke keturunan berikut bagaikan kutuk yang lebih terkutuk dari Kutukan Empu Gandring. Tak terbilang Anak Bangsa yang tidak tahu-menahu dan tidak ada sangkut pautnya dengan Malam Jahanam 30 September – 1 Oktober 1965, telah terkorban: kehilangan hidup, atau penghidupannya sebagai manusia.

Diperkirakan korban nyawa sebanyak 500,000 – 3,000,000 manusia Indonesia telah menjadi tumbal dari perang semua melawan semua (istilah Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan) yang terjadi dan seakan dibiarkan terjadi, untuk tegaknya sebuah kekuasaan yang menamakan dirinya Orde Baru untuk 33 tahun ke depan. 30 September dan 1 September 1965: Prolog dari sebuah episode Drama dengan Judul: Darah Tumpah untuk Pertumpahan Darah yang Lebih Besar Lagi – dalam lembar hitam nan kelam Sejarah Bangsa Indonesia! Ibu Pertiwi Indonesia hanya bisa menangis tersedu-sedu dalam raungan pilu di pojok sejarah, sementara anak-anaknya terlibat dalam ‘perang semua-melawan-semua’ yang kejam dan tanpa belas ampun.

Tahun 2009, 30 September – 1 Oktober
Sejarah Berulang bukan sebagai Lelucon, seperti pernah disabdakan Karl Marx, akan tetapi sebagai Tragedi yang jauh lebih tragis, kejam, dan pilu.

Gempa Bumi terjadi dengan kekuatan 7,6 Skala Richter di lepas pantai Sumatera Barat pada pukul 17:16:10 WIB tanggal 30 September 2009. Gempa ini terjadi di lepas pantai Sumatera, sekitar 50 km barat laut Kota Padang. Gempa menyebabkan kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatera Barat seperti Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang, Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat. Pada hari Kamis 1 Oktober terjadi lagi gempa kedua dengan kekuatan 6,8 Skala Richter, kali ini berpusat di 46 km tenggara Kota Sungaipenuh pada pukul 08.52 WIB dengan kedalaman 24 km. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Sumatera_Barat_2009)

Total kerugian materiil akibat gempa 7,9 skala Richter, diikuti tanah longsor di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), 30 September 2009 ditaksir mencapai Rp21,58 triliun. Kerugian terbesar akibat kerusakan perumahan, 74 persen. Korban tewas sampai 1.195 orang. (Sumber: http://www.beritabaru.com – Gempa Sumbar, Total kerugian Rp 21 Trilyun; Minggu, 15 November 2009, Nazir Amin)

Indonesia kembali Menangis, tenggelam dalam lautan air mata, darah, dan timbunan mayat yang sudah tidak bernyawa lagi. Daging, Tulang, Darah, dan Air Mata bercampur dengan reruntuhan bangunan, terlukis di bumi Sumatera Barat, dengan Alunan Raung Tangis, Keluh Sedih, Kesah Pilu, dan Sengah Perih menjadi latar belakang musik tragis yang mewarnai mosaik episode Gempa Sumatra Barat. Kekasih Terpisah, Keluarga Tercerai, Kerabat Terberai.

Apabila eposide Pasca 30 September – 1 Oktober 1965 adalah sebuah lakon “Semua Melawan Semua” ala “Leviathan”-nya Thomas Hobbes atau Perang Paregrek (1404) yang merupakan Perang antara sesama Majapahit antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana, yang akhirnya mendesak Dinasti Majapahit yang sebelumnya begitu kokoh perkasa di orbit tahta kejayaannya menuju ke ufuk kemundurannya untuk kemudian terbenam selamanya dalam debu tanah sang kala sebagai Fosil Sejarah. Hal ini berbeda dengan Gempa Sumatra 30 September – 1 Oktober 1965, yang merupakan lebih mirip alur cerita dalam film bergenre Disaster Movie produksi Hollywood seperti “2012”, “Twister”, “The Day after Tommorrow”, “Volcano”, “Dante’s Peak” dsb. Ini adalah sebuah Moment-Of-Truths, dimana segenap anak manusia bersatu-padu untuk bersama-sama menyelamatkan diri dari kejamnya bencana alam, dan membangun kembali kehidupan pasca bencana. “Semua Ber-SATU untuk Semua”.

Insan Muda Indonesia, sedih dan prihatin pada penderitaan saudara-saudari Sebangsa dan Setanah-Air kita di Sumatera Barat, melalui kegiatan “IMI Peduli Sumbar” akan menurunkan langsung 6 relawan IMI dari Jakarta pada tanggal 26 – 29 Desember 2009 ke Desa Padang Alai, Siungai Gringging, dan Kuraitaji. Ketiga Desa tersebut telah hilang selamanya dalam Peta Sumatera Barat terbenam dalam timbunan tanah akibat longsor pasca Gempa Sumbar 30 September – 1 Oktober 2009, namun masih ada penduduk yang selamat dan tetap melanjutkan hidup sampai hari ini. Insan Muda Indonesia akan turun langsung ke ketiga desa tersebut untuk membangun 3 Buah Musholla, 2 Buah MCK (Mandi Cuci Kakus), dan 1 Tempat Tinggal Sementara (Shelter), dan melakukan ‘Trauma-Healing” pada penduduk ketiga desa tersebut untuk tetap bersemangat GARUDA, dan kembali bersama-sama dengan Seluruh Bangsa Indonesia membangun kembali Desa mereka. IMI telah memiliki Posko di Jl. Sudirman no 86A, Padang Pariaman, Sumbar dan saat ini, seorang relawan IMI (Bapak Farchat) telah berada di sana untuk kemudian bergabung dengan keenam relawan lainnya yang akan menyusul kesana pada tanggal 26 Desember 2009.

Bagi Saudara-Saudara Sebangsa dan Setanah Air yang bersimpati pada penderitaan Saudara-Saudara kita di Sumbar, dan tergerak untuk menyalurkan dukungan dalam bentuk uluran dana untuk kegiatan “IMI Peduli Sumbar Desember 2009”, dapat mentransfer ke rekening:

BANK JABAR BANTEN
a/n Yayasan Citra Insan Teladan
No Rekening: 0008933863001
(Dapat ditransfer dari Bank manapun termasuk BCA dan Bank Mandiri, tanpa biaya apapun)

Indonesia masa kini banyak berhutang pada Sumatera Barat yang telah melahirkan putra-putra terbaiknya, seperti: Drs. Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Abdul Muis, KH Agus Salim, Muhammad Yamin, HR Rasuna Said, Mohammad Natsir, AK Gani, Mr. Assaat, Buya Hamka, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Nazir Datuk Pamuncak, Taufiq Ismail, PK Ojong, dan masih banyak lagi. Mereka adalah: Negarawan, Pejuang Kemerdekaan, Ideolog, Politisi, Ulama, Sastrawan, Jurnalis, yang telah mempersembahkan cipta, rasa, karya, dan karsa dalam seluruh hidupnya bagi Indonesia. Nama-nama mereka akan selalu mengharumkan Sumatera Barat dalam INDONESIAN HISTORY HALL OF FAME.

Mari bersama-sama kita bangun kembali Sumatera Barat yang telah banyak memberikan kontribusi bagi Kemerdekaan Indonesia dan juga Peradaban Indonesia Modern.

SEMUA ber-SATU untuk SEMUA! Bangkitlah Sumatera Barat!

Sejarah Berulang, Pertama sebagai Tragedi, Berikutnya sebagai Moment Sejarah untuk BERSATU demi INDONESIA YANG LEBIH BAIK LAGI!
(Insan Muda Indonesia, 17 Desember 2009)

25 Desember, Juruselamat Vs Iblis, Angka 33, dan Ke-INDONESIA-an

25 Desember, Juruselamat Vs Iblis, Angka 33, dan Ke-INDONESIA-an

Jakarta, 30 Desember 2009

Di seluruh dunia, secara global tanggal 25 Desember diperingati sebagai Hari Natal (Christmas Day). Hari Natal yang diperingati setiap tanggal 25 Desember setiap tahun, adalah Hari yang memperingati Kelahiran Yesus Kristus (Isa Al-Masih) yang diyakini oleh Umat Nasrani, baik Protestan maupun Katholik, sebagai Tuhan yang telah lahir ke dunia menjadi manusia untuk menjadi Juruselamat bagi segenap umat manusia yang telah jatuh ke dalam jurang terdalam dosa warisan Adam dan Hawa.

Umat Kristen di Indonesia sebagai bagian dari Umat Kristen Dunia, juga selalu merayakan Hari Natal setiap tanggal 25 Desember setiap tahunnya dengan penuh sukacita, gegap-gempita, dan kemeriahan, meskipun mayoritas penduduk Indonesia secara statistik beragama Islam. Itulah Indonesia, sebuah keajaiban dunia, dimana sebagai Negara Islam terbesar di Dunia, Islam diamalkan dengan begitu toleran, terbuka, dan egaliter, dimana pemeluk agama lain juga boleh memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing seperti dijamin dalam Pasal 27 UUD 1945. Para Bapak Bangsa Pendiri Negeri tercinta ini (Founding Fathers) telah mewariskan suatu sistem ketatanegaraan “Bhinneka Tunggal Ika” yang beradab, adihulung, dan tiada-dua tandingannya dalam hal nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan pluralisme sebagai teladan bagi bangsa-bangsa lain di dunia ini. Inilah Takdir Sejarah Bangsa Garuda: Bahwa Indonesia memang sudah ditetapkan dalam suratan-takdirnya untuk menjadi Bangsa yang Besar, Jaya, sebagai Mercu-Suar Dunia. Indonesia BISA, PASTI BISA, dan HARUS BISA!

Tanggal 25 Desember sebenarnya bukanlah Hari Kelahiran Yesus berdasarkan fakta historis. Herbert W Armstrong (1892 - 1986) dalam bukunya The Plain Truth About Christmas, menyatakan bahwa tradisi perayaan 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Yesus [baru] mulai dilakukan oleh Gereja Katolik Roma pada abad ke-4 Masehi. Tanggal 25 Desember sebenarnya adalah Hari Kelahiran Dewa Matahari dalam Sistem Kepercayaan Pagan Romawi yang kemudian dijadikan Hari Peringatan Kelahiran Yesus mulai abad ke-4 M, setelah Agama Kristen ditetapkan menjadi Agama Negara oleh Kekaisaran Romawi di tahun 313 M pada masa pemerintahan Kaisar Constantine I (ca. 272 – 337). Ajaran Yesus Kristus berakar pada Tradisi Yahudi. Tradisi Yahudi hanya mengenal perayaan Hari Kematian dari tokoh-tokoh ternama, dan Hari Kelahiran tidak dirayakan sama sekali. Perayaan Hari Kelahiran adalah Tradisi dalam Kepercayaan Pagan Romawi, dimana Hari Kelahiran setiap Dewa-Dewi Mitologis dan juga Kaisar demi Kaisar dirayakan secara besar-besaran.

Setelah kematian Yesus di atas kayu salib, para penganut ajaran Yesus harus terus bersembunyi karena dikejar-kejar, ditangkapi, dibunuh, dan dijadikan mangsa bagi binatang buas di arena Gladiator oleh Rezim Kerajaan Romawi, sampai akhirnya Kaisar Constantine I menganut Agama Kristen dan menetapkannya menjadi Agama Negara melalui Edict of Milan (313 M) barulah Kekristenan mendapatkan tempat yang terhormat dan dapat berkembang pesat dan tersebar ke seluruh belahan dunia yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Roma. Seperti halnya akulturasi antara Budaya Islam dengan Budaya Hindu-Jawa, yang kemudian menjadi Islam-Jawa yang begitu khas dan kental dengan kejawen, Tradisi Yahudi-Kristen juga berakulturasi dengan Tradisi Roma, menghasilkan sintesa yang kita kenal sebagai Budaya dan Tradisi Kristen Modern yang dapat kita lihat paling jelas pada Ke-Paus-an Katholik Roma. Salah satu bentuk akulturasi budaya Yahudi Kristen-Pagan Romawi tersebut adalah Perayaan Hari Lahir Yesus Kristus pada tanggal 25 Desember yang mulai diresmikan oleh Gereja Katholik Roma pada abad ke-4 M. Itulah sekelumit Sejarah Natal dan Tanggal 25 Desember dalam Kekristenan.

Dalam perjalanan Epos Sejarah Bangsa ‘Garuda’ Indonesia, tanggal 25 Desember juga menyimpan suatu makna yang amat berarti dan mendalam. Karena pada tanggal 25 Desember di tahun 1912 inilah, untuk pertama kalinya terbentuk sebuah konsep idealisme dan gagasan yang bernama: Ke-INDONESIA-An. Insan Muda Indonesia mendukung agar tanggal 25 Desember segera ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Hari Lahirnya Konsep Ke-INDONESIA-an.

Bandung, 25 Desember 1912
Indische Partij (Partai Hindia) didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat, yang lebih dikenal dalam Sejarah Indonesia sebagai Tiga-Serangkai. Pada tanggal 25 Desember 1912, ini juga diadakan rapat umum (vergadering) yang pertama kalinya dalam Sejarah Pergerakan Bangsa Indonesia seperti digambarkan dengan begitu gagah oleh Takashi Shiraishi dalam bukunya: Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926: “… vergadering IP [Indische Partij] yang dibuat Douwes Dekker di Bandung pada 25 Desember, yang mungkin merupakan vergadering politik pertama di Hindia… begitu sukses sehingga aksi vergadering menjadi ciri yang paling menonjol dari gerakan…”

Memang Sejarah tidak mencatatat Indische Partij sebagai Organisasi Pertama yang didirikan oleh Bangsa Indonesia. Indische Partij didirikan baru pada 25 Desember 1912, terentang masa 4 tahun dengan didirikannya Boedi Oetomo (BO) di tahun 1908 oleh Mahasiswa Kedokteran STOVIA di Batavia, dan SDI (Sarekat Dagang Islamiyah) oleh R.M. Tirtoadhisoerjo di Bogor pada tahun 1909. Namun Indische Partij tercatat sebagai organisasi pertama menggunakan sebuah kata ‘Indische’ (Hindia) dan menggunakan format Partai Politik untuk Organisasinya. Pada masa itu, istilah ‘Indonesia’ belum dikenal dalam kosakata, dimana wilayah Indonesia masa kini yang merupakan jajahan kolonial Belanda yang diberi nama oleh Sang Penjajah Belanda sebagai Hindia-Belanda (Netherlands-Indie).

Nama Hindia (India) amat jamak digunakan oleh para kolonisator pada masa itu. Hal ini berkaitan dengan asal mula Kolonialisme yang berakar dari Penjelajahan Samudra yang dilakukan oleh para Conquistador Eropa di masa lalu seperti Columbus, Magellan, Vasco Da Gama, Pizzaro, Cortez, Cornelis De Houtman, dll. dalam mencari sumber rempah-rempah, yang mereka percayai berasal dari kepulauan India. Inggris yang menjadi koloni Inggris dinamai British-India, demikian juga Kepulauan Nusantara, yang berhasil ditaklukkan sepenuhnya setelah selesainya rangkaian Perang-Perang Kolonial (Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh, dsb) pada awal 1900-an, dinamai Netherlands-Indie (Hindia Belanda) oleh sang kolonialis penjajah, Kerajaan Belanda.

Adalah Indische Partij (Partai Hindia) yang pertama kali menggunakan nama Hindia, karena memang Indische Partij mempunyai sebuah cita-cita dan gagasan yang merupakan cikal-bakal dari Ke-INDONESIA-an, yang jauh melampaui Boedi Oetomo (BO) dan Sarikat Dagang Islamijah (SDI). BO membatasi keanggotanya (hanya) pada lapisan atas Bangsawan dan Priyayi Jawa (saja), dan bertujuan untuk membangun kembali Kejayaan Kebudayaan Jawa (saja) dan mengikat tali-silaturahmi antara sesama kelas darah-biru Jawa (saja), sementara SDI yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sarikat Islam yang bertujuan mengadakan advokasi bagi (hanya) kepentingan kelompok agama Islam (saja). Indische Partij mempunyai visi-misi mendahului masanya, melampaui cakrawala pemikiran dan gagasan pada zamannya, bagaikan meteor yang melesat cepat jauh melampaui orbitnya. Indische Partij menawarkan gagasan yang baru lagi revolusioner dan brilyan pada masanya: Sebuah Konsep Ke-INDONESIA-an yang Plural, dimana dikemudian hari ide-ide Indische Partij telah mewujud dalam sistem Ketatanegaraan NKRI 17 Agustus 1945, yang berdasarkan BHINNEKA TUNGGAL IKA.



Indische Partij adalah Organisasi Pertama dalam Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia yang memakai bentuk Partai Politik untuk mencapai tujuannya. Dan adalah juga Indische Partij yang pertama mencantumkan kata Mencapai Kemerdekaan (Pemerintahan-Sendiri) sebagai Tujuan Organisasi secara tegas tertulis dalam Anggaran Dasarnya. Dan puncak dari kecanggihan idealisme, gagasan, dan cita-cita yang berani dipahatkan Indische Partij pertama kalinya dalam guratan Prasasti Besar Sejarah Bangsa Indonesia adalah membuka keangotaannya bagi semua anak-negeri yang mendiami wilayah Hindia, dan yang merasa dirinya sebagai bagian dari Hindia, tanpa memandang latar-belakang suku, etnisitas, ras, agama, dan golongan. Suatu Gagasan yang menjadi cikal-bakal Ke-INDONESIA-an: INDONESIA FOR INDONESIANS!

Apabila visi misi Kekristenan bagi para penganutnya adalah Kelahiran Kembali di Surga bersama Allah Bapa Sang Pencipta, dapat dicapai melalui penyerahan diri dan penerimaan pada Yesus Kristus sebagai Juruselamat, dan realisasi dari ajaran wejangan Kristus Yesus dalam kehidupan sehari-hari para umat. Maka Insan Muda Indonesia, me-Yakin-i: bahwa visi misi Ke-INDONESIA-an bagi Seluruh Bangsa Indonesia adalah sebuah MIMPI INDONESIA (INDONESIAN DREAM), dimana INDONESIA mencapai PUNCAK KEJAYAAN-nya sebagai MERCU-SUAR DUNIA, sebagai repetisi sejarah masa Dinasti Majapahit lampau yang [akan dan harus] berulang. INDONESIAN DREAM ini BISA, PASTI BISA, dan HARUS BISA tercapai melalui Penerimaan pada KONSEP Ke-INDONESIA-an sebagai JURUSELAMAT, dan pengamalan dari nilai nilai KONSEP Ke-INDONESIA-an itu sebagai Kebiasaan dan Kebanggaan dalam tiap-tiap tindak, pikir, ucap, laku, dan kata. JURUSELAMAT bagi INDONESIA itu adalah sebuah konsep, sebuah gagasan, ide Ke-INDONESIA-an, dimana setiap individu yang lahir, besar, tinggal, dan hidup di negeri ini harus berpikir sebagai BANGSA INDONESIA, dengan meleburkan semua ego-ego dan identitas yang lebih sempit (agama, suku, ras, etnisitas, tribal, primordial, kelas ekonomi, dll sebagainya) untuk kemudian BERSATU menjadi satu bangunan yang lebih besar nan utuh bernama INDONESIA.

Konsep PERSATUAN dalam KONSEP Ke-INDONESIA-An yang digagas Tiga Serangkai melalui Indische Partij bagaikan iblis yang begitu menakutkan bagi rezim kolonial Hindia-Belanda. Sejak 25 Desember 1912, dua kali pengajuan Indische Partij kepada Pemerintah Hindia-Belanda untuk menjadi Badan Hukum ditolak mentah-mentah, dimana penolakan resmi dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1913, langsung oleh Gubernur Jenderal A.W.F Indenburg; yang menempati titik teratas kekuasaan penindas kolonial Kerajaan Belanda di Hindia (Indonesia) saat itu. Tiga Bulan sejak Pendirian dan Rapat Umum Indische Partij, tepatnya pada tanggal 31 Maret 1913, Tiga Serangkai ditangkap oleh Pemerintah Hindia-Belanda, untuk kemudian diasingkan ke Belanda. Indische Partij dinyatakan sebagai Partai Terlarang di seluruh yurisdiksi Hindia-Belanda. Iblis yang bernama INDONESIA itu telah diringkus oleh Kolonial Belanda, awalnya seakan Iblis itu seakan-akan telah berhasil ditundukkan oleh Sang Ratu, akan tetapi INDONESIA bukan Indische Partij, Boedi Oetomo, SDI, PNI, Indonesia Moeda, atau lain-lain organisasi berbentuk yang fana lainnya. INDONESIA adalah sebuah konsep, sebuah ide, gagasan, cita-cita, dan mimpi yang abadi dan niskala.

Akhirnya Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang mencoba menaklukkan Iblis tersebut menjadi pihak yang tertakluk dan ternista dalam Sejarah Kemanusiaan, dan Iblis INDONESIA tersebut menang dalam pertarungan di Panggung Sejarah. Mungkin Iblis sesungguhnya yang amat ditakuti Penjajah Belanda itu sebenarnya adalah angka 33. Kira-kira 33 tahun kemudian, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, jam 10:00 Pagi, INDONESIA memproklamasikan dirinya.

Creedy : “Die! Die! Why won’t you die? … Why won’t you die?
V : “Beneath this mask there is more than flesh. Beneath this mask there is an idea,
Mr. Creedy, and ideas are bulletproof”.
‘V for Vendetta’ (Film / 2005)

Apabila Karl Marx (1808 – 1883) meyakini perulangan dari sejarah sebagai suatu orbit tanpa henti, maka Konsep Ke-INDONESIA-An yang sudah menjadi JURUSELAMAT yang membawa Kemerdekaan dalam Perang Bharatayudha antara Pandawa INDONESIA melawan Kurawa Penghisapan dan Penindasan Sistem Kolonialisme Belanda, akan kembali menjadi JURUSELAMAT yang membawa INDONESIA ke Puncak Kejayaannya, menjadi MERCU-SUAR DUNIA.

Wahai, Insan Muda Indonesia, dari Sabang Sampai Merauke, apakah engkau Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Taoist, Konghucu, Sosialis, Agnostik, atau bahkan Atheis, tak peduli engkau Jawa, Betawi, Tionghoa, Arab, Sunda, Menado, Papua, Batak; Bersatulah di bawah Baluran Sang Saka Merah Putih, untuk bersama-sama kita bersatu untuk meneriakkan mantra sakti mandraguna: BHINNEKKA TUNGGAL IKA, sambil berbaris dalam satu barisan menuju TAKDIR SEJARAH BANGSA GARUDA. Indonesia Pusaka, Tercinta Selamanya! Bagimu Jiwa dan Raga! PERSATUAN dan NASIONALISME akan membawa kita bersama kesana.

Lagu Untuk Indonesia dari Doline Warnerin

Lagu untuk Indonesia dari Doline Warnerin

Jakarta, 7 Desember 2009

4 Agustus 1992, Pavello de la Mar Bella, Barcelona, Spanyol
Lagu Indonesia Raya berkumandang untuk pertama kalinya di Arena Olimpiade Barcelona 1992, setelah Susi Susanti berhasil meraih medali emas setelah. mengalahkan Bang Soo Hyun di Final Tunggal Putri untuk cabang olahraga Bulutangkis. Pada Olimpade Barcelona 1992 inilah Bulutangkis pertama kalinya dimasukkan sebagai cabang olahraga yang dipertandingkan dalam kancah Olimpiade. Melalui layar kaca televisi, saya masih ingat saat-saat mengharukan itu, di kala Sang Saka Merah Putih dikibarkan dengan diiringi dengan lagu Indonesia Raya yang berkumandang gagah di angkasa raya gedung Pavello de la Mar Bella. Susi Susanti ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan perasaan yang begitu bangga campur haru, air mata mulai mengalir keluar membasahi mata turun ke pipinya sembari menggumamkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dari bibir tipisnya yang juga basah oleh air mata. Pertama kalinya anak bangsa Indonesia menorehkan sejarah di ajang Olimpiade, dan Susi Susanti begitu larut dalam euforia kemenangan, tidak sanggup menahan luapan emosi sentimentilnya setelah Lagu Indonesia Raya Berkumandang, menangis untuk pertama kalinya dalam ajang yang begitu bergengsi tersebut. Dari rumah saya di Jakarta, Indonesia, saya turut merasakan emosi, euforia, dan luapan nasionalisme yang begitu menggelegak memenuhi rongga dada saya. Saya bergetar di dalam rongga dada saya.

19 Desember 1948 Pagi, Desa Ngalihan, Solo
Sejumlah 12 orang yang ditangkap atas keterlibatan dalam Peristiwa Madiun (Madiun Affair), termasuk mantan Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin, dieksekusi oleh TNI atas perintah Kolonel Gatot Subroto. Perisitwa Madiun (Madiun Affair) yang digerakkan oleh PKI / FDR (Front Demokrasi Rakyat), adalah merupakan suatu gerakan oposisi koreksi atas strategi Pemerintah RI dibawah Soekarno – Hatta saat itu yang lebih cenderung memilih jalan Diplomasi dan Perundingan dengan Belanda dalam Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasiakan tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintah RI pada saat itu lebih memilih jalan Diplomasi dan Perundingan, yang pada saat itu dikenal dengan semboyan “From the Bullet to the Ballot” adalah sebagai kebijakan strategis dalam rangka membentuk opini publik Internasional yang lebih bersahabat dan mendukung pada Perjuangan Bangsa Indonesia. Berbeda pendapat dengan Pemerintah RI dibawah Soekarno – Hatta di Jakarta, Muso dan Amir Sjarifoeddin menggalang kekuatan oposisi koreksi atas kebijakan Pemerintah dengan melakukan fusi PKI / FDR. Pecahlah Peristiwa Madiun. Pemerintah RI pusat di Jakarta tidak dapat mentolelir dualisme kekuasaan saat itu, karena keselamatan NKRI sedang terancam dengan dilancarkannya Agresi Militer Belanda ke-2, sehingga mengambil keputusan tegas untuk mengadakan aksi militer menumpas PKI / FDR dan seluruh gerakan Peristiwa Madiun. Muso tewas tertembak. Amir Sjarifoeddin dan 11 orang lainnya yang tertangkap dieksekusi oleh TNI di Desa Ngalihan Solo pada pagi hari 19 Desember 1948. Sebelum mereka dieksekusi, mereka meminta pada tim eksekutor untuk memperbolehkan mereka menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Walau berbeda strategi perjuangan dengan Pemerintah Pusat yang pada saat itu dijalankan oleh Kabinet Hatta, mereka tetap merasa bangga sebagai Satu Bangsa yang baru lahir: Indonesia!

Kedua Mosaik Peristiwa Sejarah di atas terjadi pada ruang dan waktu yang terentang terpisah beda. Terentang jarak waktu 44 tahun, dan terpisah jarak ruang ribuan kilometer, Ngalihan, Solo, Indonesia dan Barcelona, Spanyol. Susi Susanti larut dalam euforia dan ekstasi perasaan bahagia, bangga, nan haru yang bercampur jadi satu. Sementara Amir Sjarifoeddin dan ke-11 orang yang dieksekusi di Ngalihan, Solo, terhujam dalam perasaan kalah, frustasi, dan takut dalam menghadapi ajal yang tinggal beberapa detik lagi! Namun mereka berbagi satu cerita: Sebuah Cerita tentang Kesetiaan pada Indonesia. Sebuah Cerita tentang Lagu untuk Indonesia. Betapa Lagu “Indonesia Raya” yang didaulat menjadi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya begitu sakral ketika dinyanyikan, sebagai lagu sumpah setia pada sebuah kebangsaan, sebuah negeri, sebelum ajal menjemput, dan betapa Lagu Indonesia Raya begitu agung ketika dikumandangkan di panggung dunia, sebagai lagu puja-puji kemenangan sebuah Bangsa, Indonesia!

28 Oktober 1928, , Malam Penutupan Kongres Pemuda II
Gedung Indonesische Clubgebouw
Lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan pada publik dengan hanya dengan permainan biola oleh sang penciptanya, WR Supratman di hadapan sekitar 1000 hadirin yang ikut berpartisipasi dalam sebuah peristiwa bersejarah Bangsa Indonesia yang kelak diperingati sebagai Sumpah Pemuda. Ch O Van Der Plas, Penasihat Urusan Pribumi dari Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, dan seorang Komisaris Polisi yang hadir dalam Rapat tersebut melarang dinyanyikannya lagu tersebut setelah memeriksa teks lagu tersebut yang mengandung kata Indonesia. Pada saat itu kata Indonesia adalah sebuah kata yang amat diharamkan, dan bisa membuat sang pengucap masuk penjara tanpa proses hukum.

Lagu Indonesia Raya di kemudian hari
Setelah debutnya pada malam penutupan Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 teresebut, Lagu Indonesia Raya menjadi begitu terkenal di kalangan pergerakan kemerdekaan, dan menjadi lagu wajib yang selalu dinyanyikan pada saat partai-partai politik pergerakan kemerdekaan mengadakan kongres. Setelah Indonesia Merdeka, lagu tersebut ditetapkan sebagai Lagu Kebangsaan Republik Indonesia. Sayang, WR Supratman tidak sempat melihat penghargaan Bangsa Indonesia atas karyanya, karena ia telah meninggal di Surabaya pada tanggal 17 Agustus 1938, tepat 7 tahun sebelum Indonesia Merdeka.

Namun WR Supratman telah mengabadikan bukan hanya kreasi cipta, karya, karsa yang didasari oleh perasaan Nasionalisme dan Cinta Tanah Air yang begitu meledak-ledak dalam jiwanya. Ia juga telah mengabadikan seluruh hidupnya demi Indonesia. Lagu-lagu ciptaannya yang lain selain Indonesia Raya selalu bertemakan Nasionalisme, Kemerdekaan, dan Patriotisme seperti: Matahari Terbit, Di Timur Matahari, dan RA Kartini, membuatnya selalu jadi sasaran kejaran Polisi dan Intel Kolonial Hindia-Belanda. Bulan Agustus 1938, WR Supratman ditangkap oleh Polisi karena menyanyikan Lagu-lagu untuk Indonesia tersebut bersama dengan Pandu NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschapij / Maskapai Radio Hindia Belanda) di Jalan Embon-Malang. Ia dijebloskan ke Penjara Kalisosok. Kondisi Penjara yang buruk membuat penyakit paru-parunya semakin kronis, dan Ia meninggal pada tanggal beberapa hari kemudian pada 17 Agustus 1938 di dalam Penjara, untuk kemudian dimakamkan di Pekuburan Kapas Kampung, Kenjeran, Surabaya. Sampai hari ini, Makam WR Supratman masih tegak berdiri setelah direnovasi oleh Pemerintah dan masih dapat dikunjungi oleh Generasi Muda Indonesia yang ingin menghayati sebuah totalitas seorang seniman musik untuk Indonesia.

27 November 2009, Insan Muda Indonesia Facebook Group Wall
Doline Warnerin, seorang putra Tasikmalaya, mempublikasikan lagu ciptaannya yang berjudul Insan Muda Indonesia di Insan Muda Indonesia Facebook Group Wall. Beberapa hari kemudian, Doline mengirimkan demo lagu yang dinyanyikannya sendiri dengan diiringi permainan alat musiknya ke email Insan Muda Indonesia. Doline begitu terinspirasi oleh Insan Muda Indonesia yang berikrar setia pada Ibu Pertiwi Indonesia untuk menegakkan kembali Nasionalisme, Patriotisme, dan Cinta Tanah Air di Indonesia Pusaka tercinta. Doline Warnerin bukanlah seorang sastrawan yang mahir memadukan kata-kata menjadi suatu simfoni narasi sebuah roman atau novel. Doline juga bukan seorang penyair yang piawai meracik bait bait patahan kata menjadi syair puisi yang merdu lagi menggugah ketika dideklamasikan. Doline adalah seorang seniman musik.

Ia menciptakan Lagu “Insan Muda Indonesia” sebagai wujud penghargaan terhadap Jejak Langkah Insan Muda Indonesia untuk menorehkan Sejarah Baru di Bumi Manusia Idnonesia, dimana Insan Muda Indonesia mencita-citakan Indonesia Raya dalam arti yang sesungguh-sungguhnya dan senyata-nyatanya. Sama seperti simpatisan Insan Muda Indonesia lainnya, Doline percaya dan meyakini bahwa Indonesia Raya nan Jaya bisa tercapai, Indonesia menjadi Mercu-Suar Dunia adalah sebuah Kepastian, apabila saya, kamu, dia, kami, mereka, kita semua, mulai hari ini berhenti berpikir sebagai individu, kelompok, suku, maupun agama, dan mulai melebur semua ego-ego sempit itu ke dalam mantra sakti mandraguna bernama Indonesia!

Doline Warnerin sama seperti WR Supratman telah melukiskan eskpresi cipta, rasa, karsa jiwanya melalui kreasi karya yang lahir dari hati tulus untuk mempersembahkan sesuatu, meskipun kecil, bagi Indonesia tercinta ini, yaitu Sebuah Lagu untuk Indonesia.

Emosi, Inspriasi, Harapan, Cita-cita yang terkandung dalam Lagu Untuk Indonesia yang diciptakan oleh WR Supratman telah berhasil menulari dan dirasai oleh Susi Susanti di Barcelona, Amir Sjarifoeddin, dan ke 11-orang lainnya di Desa Ngalihan, Solo. Walau terpaut ruang, waktu, dan konteks ketika mereka terlibat dengan Lagu Tersebut.

Semoga Substansi, Isi, Emosi, dan juga Idealisme dari Lagu “Insan Muda Indonesia” yang diciptakan oleh Doline Warnerin ini juga dapat menulari segenap Insan Muda Indonesia untuk tetap bersatu dalam gotong-royong untuk berkarya bagi Indonesia tercinta! Di Bawah Bendera Merah-Putih kita bersumpah setia selamanya!

Wahai Insan Muda Indonesia, marilah bersama kita wujudkan Indonesia Raya (The Great Indonesia). Merdeka!

Liputan Rapat Umum Insan Muda Indonesia ke-1 & Ucapan Terima Kasih

Liputan Rapat Umum Insan Muda Indonesia ke-1 & Ucapan Terima Kasih

31 Oktober 2009, Rapat Umum Insan Muda Indonesia yang ke-1 telah dilangsungkan di Restoran SEDERHANA, Sudirman Office Complex. Terimakasih kepada Bapak Andhi Satria, dan Saudara Edwin dari KompasTV. Insan Muda Indonesia angkat topi pada KompasTV yang peduli pada kemajuan Negara dan Bangsa Indonesia dengan meliput Rapat Umum ke-1 Insan Muda Indonesia. Kami ini baru tunas, dengan publikasi KompasTV, dan juga dukungan segenap anak Bangsa Indonesia, Insan Muda Indonesia seakan dihujani air segar, dan pupuk yang akan membuat kami tumbuh lebih kuat memancang langit ke atas angkasa raya, dan mengakar mencengkram tanah air Ibu Pertiwi Indonesia tercinta, jadi Pandu Indonesia.

Terimakasih juga kami haturkan pada Ruby Narzudy yang membantu mencetak Lambang Insan Muda Indonesia dan materi-materi lain untuk kepentingan Rapat Umum kemarin ini. Juga kepada Lenny Nathalia, Marlyn Lusiana, Sony Tono, dan Vincent Young, yang telah menyempatkan waktu kalian yang begitu berharga untuk hadir pada Rapat Umum Insan Muda Indonesia ke-1. Juga kepada Budi Kurniawan and Antonius Kumala yang begitu ingin hadir dan menyaksikan sebuah tonggak sejarah baru Indonesia dipancangkan, namun tidak dapat hadir karena suatu dan lain hal, dan menyatakan dukungan lewat pembicaraan per telepon. Juga kepada segenap staff Restoran SEDERHANA, dan semua pribadi yang tidak sempat kami sebutkan. Terima Kasih untuk kalian semua!

Insan Muda Indonesia adalah pengemban amanat dan takdir sejarah dari Generasi Sumpah Pemuda (1928) yang kemudian melebur dalam Indonesia Muda (1930). Adalah sebuah kebetulan Sejarah yang terlalu kebetulan, bila Lambang maupun Nama dari Insan Muda Indonesia (2009) amat menyerupai Indonesia Muda (1930). Apakah ini sebuah Reinkarnasi Sejarah, Repetisi Sejarah, ataupun cuma kebetulan belaka, Insan Muda Indonesia sudah siap mengemban amanat Takdir Sejarah-nya. Insan Muda Indonesia akan berdiri di barisan paling depan untuk mengingatkan kembali Bangsa Indonesia yang seakan lupa pada kesaktian Persatuan dan Cinta Tanah Air yang sudah disabdakan Sumpah Pemuda (1928), dan nama-nama yang tersebut di atas akan tercatat dengan tinta emas pada Hikayat sejarah kebangkitan Bangsa Garuda, dan dilafalkan oleh anak-anak sekolah berabad kemudian. Indonesia akan tetap tegak berdiri, karena kalian masih peduli!

Rapat Umum ke-1 Insan Muda Indonesia kemarin ditutup dengan kata penutup oleh Erlangga Patria Mangan (Ketua), Pembacaan Manifesto Insan Muda Indonesia oleh Agus Salim (Wakil Ketua), dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama oleh segenap hadirin sebagai pamungkas penutup.

Terimakasih Indonesia. Insan Muda Indonesia, Ada, Karena Indonesia!

Jakarta, 2 November 2009

Atas Nama Bangsa Indonesia,

Insan Muda Indonesia

Sumpah Pemuda dan Sumpah Insan Muda Indonesia 28 Oktober 2009

Sumpah Pemuda dan Sumpah Insan Muda Indonesia 28 Oktober 2009

Jakarta, 28 Oktober 2009

Hari ini 28 Oktober 2009, Kita semua kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda. Namun, tahukah kita semua Sejarah Sumpah Pemuda, juga arti pentingnya dalam menentukan arah Sejarah Bangsa Indonesia? Tulisan singkat ini akan memberikan selayang pandang pengertian tentang Sumpah Pemuda. Untuk versi lengkap yang lebih panjang dari tulisan ini, silahkan dibaca di Facebook Group Page: Insan Muda Indonesia.

Sumpah Pemuda sebagai Ikrar Satu Indonesia salah satu tonggak sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, adalah merupakan hasil resolusi dari Kongres Pemuda II (27 - 28 Oktober 1928). Semangat Persatuan dalam Resolusi Kongres yang untuk kemudian hari dibai'at menjadi Sumpah Pemuda sangat dipengaruhi oleh Ide-Ide Muh. Yamin yang dituangkan dalam pidato-pidatonya selama Kongres yang begitu cemerlang dan memukau, membuatnya menjadi Bintang di Kongres ini.

Pada malam terakhir Kongres (28 Oktober 1928), Lagu Indonesia Raya diperdengarkan untuk pertama kalinya oleh WR Supratman dengan permainan biolanya di hadapan sekitar 1000 peserta. Pengawas Belanda yang hadir saat itu: CH O Van Der Plas (Penasihat Urusan Pribumi) dan seorang Komisaris Polisi menganggap syair Indonesia Raya terlalu ekstrim, dan hanya membolehkan lagu ini dilagukan secara Instrumental tanpa dinyanyikan Syairnya.

Kongres Pemuda II diikuti oleh Organisasi-organisasi Pemuda Kedaerahan dan Kesukuan, seperti: Jong Java, Jong Sumantranen Bond, Jong Celebes, Jong Bataks Bond, Jong Minahasa, dsb. Semangat Persatuan sebagai Resolusi Kongres Pemuda II ini begitu merasuki seluruh peserta, sehingga semua organisasi kedaerahan dan kesukuan tersebut segera membubarkan diri sepanjang tahun 1929, untuk kemudian melebur dalam satu wadah persatuan: Indonesia Muda di tahun 1930.

Insan Muda Indonesia Haqqul Yaqin bahwa Indonesia adalah Satu. Persatuan hanya bisa tercapai melalui Peleburan Ego-Ego yang lebih kerdil, seperti Ego Individual, Kelompok, Tribal, Dan Religi, untuk bermuara dalam Samudera Ke-Indonesiaan.

28 Oktober 2009, Insan Muda Indonesia Bersumpah untuk terus meneruskan amanat suci Sumpah Pemuda (1928) dan Indonesia Muda (1930) untuk mewujudkan idea menjadi realitas Persatuan dalam arti yang senyata-nyatanya! Dengan Azimat Persatuan, Indonesia BISA, PASTI BISA, dan HARUS BISA mencapai Puncak Kejayaannya.

Wahai Insan Muda Indonesia!
Kita pernah ada di Puncak Tertinggi di Masa Lalu!
Sriwijaya, Majapahit, Borobudur, juga MONAS....
Teruslah Bersatu dan Cintai Ibu Indonesia!
Bersatu selalu kita akan teguh sampai akhir riwayat sang kala
Merdeka!

28 Oktober 2009, Insan Muda Indonesia BERSUMPAH!

INDONESIA: SURGA Dunia!!!

INDONESIA: SURGA Dunia!!!

Jakarta, 16 November 2009

Tuhan YME telah benar-benar meng-anugerahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada Bangsa Indonesia. Terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan Iklim Tropis sepanjang tahun dan Dua Musim, juga secara Geografis dikelilingi oleh deretan Gunung Berapi, membuat Tanah Bumi Indonesia begitu subur, dan amat kondusif untuk lahan berkembangnya tumbuh-tumbuhan dari hampir segala jenis species.

Keanekaragaman Hayati, Flora dan Fauna; Kekayaan Laut, Berlimpahnya Sumber Daya Alam Energi dan Mineral, dan masih amat sangat banyak lagi semua potensi Bumi Indonesia sebagai Rahmat dan Hidayah Tuhan YME. Potensi Tanah dan Bahari Alam Indonesia begitu luar-biasa-nya, hingga mampu membuat Perusahaan Swasta Belanda; VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie / Dutch East India Company), yang beroperasi di Indonesia 1596-1800 dan Kerajaan Belanda yang menguasai Indonesia (1800-1942) melalui politik kolonial-nya mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari Bumi Ibu Pertiwi Indonesia.

VOC dan Kerjaan Belanda mendapatkan laba komersial luar-biasa besar yang membuatnya menjadi Super-Power Dunia pada masanya! Negeri Kincir-Angin yang terletak di bawah permukaan laut itupun mampu membendung lauitan dari profit komersial mereka atas penderitaan Bangsa Indonesia dibawah Penjajahan Kolonial Belanda yang busuk nan menindas. Hal ini amat kontradiktif dengan keadaan Ibukota Jakarta tercinta yang selalu digenangi banjir langganan selama musim penghujan setiap tahunnya, akibat ketidakpedulian pemerintah daerah dan penduduknya yang tidak memiliki rasa cinta dan perhatian pada lingkungan kotanya.

Seakan tidak puas menganugerahkan Rahmat dan Hidayah-Nya pada Bumi Manusia Indonesia dengan Kekayaan dan Potensi Alamnya yang begitu luar biasa, Tuhan YME seakan begitu royal dan dermawan untuk menganugerahkan (lagi) Alam Indonesia dengan Keindahan Alamnya! Indonesia dengan 17,000 lebih pulau-pulaunya bagaikan sebuah Mahakarya Tuhan YME, sebuah Firdaus Dunia dalam Arti yang Sebenar-benarnya!

Salah satu sisi pesona estetik Alam Indonesia adalah Kepulauan Flores. Di Kepulauan Flores inilah, terletak Keajaiban Dunia, ciptaan Tuhan YME, yang hanya ada di Indonesia!

Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar di Gugusan Kepulauan Flores adalah Tiga Pulau di Dunia, dimana masih hidup margasatwa Purba dari Zaman Dinosaurus: Komodo. Tercatat 2500 ekor Komodo masih hidup sebagai simbol kemenangan atas hempasan waktu dan kejamnya proses evolusi biologi.

Komodo (Varanus Komodoensis) adalah Reptil Karnivora Purba yang diyakini para ahli biologi dan evolusi merupakan evolusi dari nenek-moyang salah satu species Dinosaurus 300 juta tahun lalu. Komodo sendiri sudah hidup dari 40 juta tahun lalu sampai detik ini. Saat ini detik ini, Only in Indonesia! Bumi Indonesia telah memberikan sumbangsih terbesarnya bagi pelestarian warisan kehidupan Dunia!

Pulau Rinca juga disebut sebagai Halfway to Heaven (Setengah Perjalanan Menuju Surga) karena Keindahan Alamnya. Pulau Rinca sepenuhnya diselimuti padang savanna nan hijau, dan dikelilingi birunya Laut Flores, membuat panorama alamnya bak lukisan sebuah Surga, Taman Firdaus yang terletak di Bumi ini.

Umat Kristiani dalam Doa Bapak Kami yang diajarkan langsung oleh Yesus, melafalkan: Jadilah KehendakMU, di Bumi seperti di Surga. Itulah Pulau Rinca. Itulah Flores. Itulah Indonesia, Halfway to Heaven! Setengah Perjalanan Menuju Surga.

Bangsa Indonesia juga sudah mencapai Setengah Perjalanan Menuju Surga! Dengan Kasih Anugerah Tuhan YME yang mencurahkan Rahmat dan Hidayah-NYA yang berkelimpahan pada Bumi Indonesia yang membuatnya begitu Kaya nan Indah, Indonesia sudah menjadi SETENGAH SURGA!

Indonesia BISA, PASTI BISAm dan HARUS BISA jadi SURGA DUNIA. Setengah Perjalanan lagi untuk mewujudkan SURGA DUNIA di Indonesia adalah dengan memanfaatkan Potensi lebih dari 200 juta Rakyat Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang begitu banyak, Indonesia menjadi berpenduduk terpadat ke-4 di dunia. Apabila potensi Sumber Daya Manusia ini diberdayakan melalui pendidikan pada Generasi Muda, sudah pasti Sinergi Unsur BUMI dan Unsur MANUSIA ini akan melahirkan sebuah SENYAWA INDONESIA yang akan menjadi AZIMAT SAKTI nan AMPUH, yang akan membawa Bangsa Indonesia ke Puncak Kejayaannya, Menjadi Mercu-Suar Dunia, SURGA DUNIA! Cita-cita Kemerdekaan dari Para Pendiri Republik Indonesia untuk Indoensia yang Adil dan Makmur, Gemah Ripah Lohjinawi, niscaya akan tercapai!

Insan Muda Indonesia bertekad mewujudkan Mimpi Indonesia (Indonesian Dream) melalui Pendidikan Generasi Muda Indonesia yang menanamkan Semangat Persatuan, Nasionalisme, Cinta Tanah Air dan Bangsa. Mari Bersama Insan Muda Indonesia, kita wujudkan INDONESIAN DREAM!

Wahai Insan Muda Indonesia: Belajar dan Bekerja-lah dengan Giat, Bersatulah, dan Cintailah Ibu Pertiwi Indonesia tercinta!

Tertulis dalam Al-Quran: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” (QS 13:11 / Ar Radu Ayat 11). Dengan Rahmat Tuhan YME, Pulau Rinca dan Kepulauan Flores lainnya, BUMI Indonesia sudah menjadi Halfway To Heaven. Dengan Cipta, Karsa, Karya, dan Rasa Manusia Indonesia, Insan Muda Indonesia HAQQUL YAQIN Indonesia PASTI BISA menjadi SURGA DUNIA!

Pulau Rinca adalah Halfway to Heaven!
Jadilah Kehendak Indonesia: Di Bumi seperti di Surga!
Semoga Tuhan YME Selalu Meridhoi Perjuangan Bangsa Indonesia!
Amien!

Tulisan ini juga dimuat di Facebook Group Discussions: Insan Muda Indonesia

Insan Muda Indonesia 661 - 23 November 2009

Insan Muda Indonesia 661 – 23 November 2009

Pernah nonton film 300? 300 adalah Film produksi Hollywood tahun 2007, yang diadaptasi dari Graphic Novel dengan judul sama: 300 karya Frank Miller. Cinematography film itu begitu apik, teliti, dan detail sehingga membuat Film yang setiap scene-nya begitu taat dan akurat mengikuti storyboard di edisi Graphic Novel-nya ini menjadi tontonan yang amat menarik.

300 diadaptasi dari peristiwa sejarah Pertempuran Thermophylae di tahun 480SM, dimana Raja Leonidas dari Sparta (540 – 480 SM) melawan invasi Raja Xerxes I dari Persia (519 – 465 SM) dan 250,000 pasukannya hanya dengan 300 laskar Sparta!!! Leonidas dengan 300 pasukan elit negri Sparta bergabung dengan pasukan koalisi dari seluruh Yunani yang berjumlah kurang lebih 7000 orang telah siap melawan invasi 250,000 laskar Persia yang jauh di atas mereka dalam hal jumlah, kemampuan tempur, dan juga kelengkapan senjata.

Leonidas, ke-300 laskar Sparta, dengan gabungan kekuatan Yunani lainnya sudah tahu bahwa mereka akan kalah dari Persia, namun mereka maju ke garis terdepan pertempuran dalam keadaan siap berkorban jiwa demi pertiwi. Merdeka atau Mati! Mereka tidak sudi tanah Yunani dijajah oleh bangsa asing.

MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
(Puisi: Diponegoro, Karangan Chairil Anwar)

Dimulailah sebuah perang yang dikenang sepanjang masa dalam sejarah yang melibatkan dua kekuatan yang tidak imbang sama sekali, dimana pihak yang kalah tercatat dalam keabadian sejarah. Hasilnya, sudah bisa ditebak dengan logika, Leonidas dan kesemua 300 laskar Sparta tewas dalam pertempuran tersebut. Sekali Berarti Sudah Itu Mati! Leonidas dan ke 300-laskar Sparta abadi dalam tiap guratan pena sejarawan, hidup beribu tahun dalam hikayat kepahlawanan. Thermopylae 480SM: Sebuah Metafora kontradiksi antara Kemerdekaan dan Penjajahan. Sebuah kekalahan Patriotisme, Persatuan, dan Cinta tanah Air dalam medan pertempuran, yang menjadi abadi dalam balada kepahlawanan Bangsa Yunani.

MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas.
(Puisi: Diponegoro, Karangan Chairil Anwar)

Insan Muda Indonesia didirikan 22 Agustus 2009 sebagai antitesis dari sempitnya ego-ego individual, religi, kultur, tribal, kelompok, golongan, dan ego-ego sempit lainnya. Insan Muda Indonesia meyakini Takdir Sejarah Bangsa Indonesia untuk menjadi Mercu-Suar Dunia, mencapai Puncak Kemegahan nan Agung, seperti Masa Dinasti Majapahit, dapat dicapai dengan AZIMAT SAKTI: Persatuan, dan Cinta Tanah Air.

Seperti Anti-tesis Kemerdekaan kontra Penjajahan pada Thermopyale 480SM, Insan Muda Indonesia (2009) menyerukan pada segenap Bangsa Indonesia untuk BERSATU, dan MENCINTAI IBU PERTIWI INDONESIA, untuk bersama menggenggam TAKDIR SEJARAH BANGSA GARUDA.

Suatu hal yang amat menggembirakan, bahwa sampai hari ini anggota Insan Muda Indonesia di Facebook Group sudah mencapai 661 anggota per 23 November 2009 18:00 WIB. INDONESIA BISA, PASTI BISA, dan HARUS BISA, karena KALIAN SEMUA MASIH PEDULI!

Petikan bait Chairil Anwar dalam puisinya: Catetan Th 1946, melukiskan dengan romantik suatu moment sejarah yang tercatat dalam keabadian sebagaimana seharusnya:

Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
(Puisi: Catetan Th. 1946, Karangan Chairil Anwar)

Untuk Pertempuran Thermopylae, tidak semua dicatat walau semua dapat tempat. Epos sejarah kuno baik barat maupun timur, dari Kisah Tiga Negara-nya Tiongkok, Illiad dan Oddyssey-nya Yunani, Mahabharata-nya India, hanyalah mencatat kegagahan, kepahlawanan, keberanian, dan segala tindak-dan-laku kelas Penguasa, Raja, Bangsawan, Satria, Jenderal, Panglima, Laksamana, dan juga Pendeta. Rakyat terbungkam dalam tiap balik lembar halaman kitab sejarah yang penuh oleh hiruk-pikuk nama para Penguasa. Mereka disebut tanpa-nama, sebagai jumlah, sebagai angka. Leonidas dapat tempat dan tercatat. Yang lain Cuma disebut sebagai the 300 Spartans! Mereka mati dalam kesunyian sejarah sebagai angka tanpa nama!

Insan Muda Indonesia berterima-kasih pada ke 661 anggota yang sudah bergabung di Facebook Group Insan Muda Indonesia, dan mengajak keseluruh 661 Insan Indonesia untuk bersama bergandengan tangan dalama Baluran Sang Saka Merah Putih, dan bersama-sama menyerukan BHINNEKA TUNGGAL IKA. Dan ke 661 anggota yang sudah bergabung pada hari ini, akan dapat tempat, tercatat dalam ukiran dalam Prasasti Sejarah Kebangkitan Kembali Bangsa Garuda. Ayo, ajak semua sahabat, kerabat, semuanya bergabung dalam Facebook Group: Insan Muda Indonesia! Dukung target Insan Muda Indonesia untuk mempunyai 1000 anggota di Facebook Group pada akhir 2009!

Dan kita akan memulai sebuah Sejarah di awal tahun 2010 dengan 1000 manusia yang siap mengguncang Gunung Semeru! 1000 Insan Muda Indonesia yang satu dalam tekad Persatuan dan Cinta Tanah Air akan membuat sejarah yang lebih heroik dari Leonidas dan 300 laskar Sparta-nya di tahun 480SM!

Semua dicatat, Semua Dapat Tempat!

Merdeka! Jayalah Indonesia kita semua!
Atas Nama Bangsa Indonesia;

Jakarta 23 November 2009, 18:50 WIB
Insan Muda Indonesia

Tulisan ini juga dimuat di Facebook Group Discussions: Insan Muda Indonesia

E.F.E Douwes Dekker - Jiwa Putra Indonesia Sejati

E.F.E Douwes Dekker - Jiwa Putra Indonesia Sejati

Jakarta, 14 Oktober 2009

Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, adalah satu dari tak terbilang bukti sejarah, bahwa Monumen Suci Kemerdekaan Indonesia dibangun dengan darah daging jiwa para Pahlawan dan Martir / Syuhada dari berbagai latar belakang Etnis-Ras, Suku, dan Budaya.

Insan Muda Indonesia yakin Indonesia ada karena keanekaragaman anak bangsa. Indonesia lahir karena untaian nada sumbangsih beranekaragam anak bangsa: Jawa, Sunda, Tionghoa, Arab, Aceh, sampai Papua; yang menjadi satu simfoni SENYAWA INDONESIA.

Dengan Persatuan dan Keanekaragaman (Bhinneka Tunggal Ika) jualah, Indonesia dapat mencapai Kejayaannya sebagai Mercu Suar Dunia. Hal ini terbukti pada Sejarah Kelahiran Republik Indonesia 17 Agustus 1945 melalui Balada seorang EFE Douwes Dekker.

EFE Douwes Dekker lahir tahun 1879 di Pasuruan dari Ayah BELANDA, dan ibu berdarah campuran JERMAN-JAWA. Jelas, istilah 'gaul'-nya ia adalah 'BLASTERAN' dan bukan berdarah 'ASLI' Indonesia. Tapi Epos hidupnya adalah sebuah Cerita Kepahlawanan Putra Indonesia Sejati.

Adik dari Kakek EFE Douwes Dekker adalah Multatuli (Eduard Douwes Dekker), pengarang Max Havelaar, sebuah Novel Raksasa yang meneriakkan keberpihakan pada Rakyat Hindia-Belanda dan mengutuk Politik Tanam Paksa yang zalim dan menyengsarakan jelata.

Multatuli (Eduard Douwes Dekker) sendiri adalah seorang berdarah 'BELANDA' tulen. Suatu bukti lagi, Indonesia bukanlah keturunan, genetis, atau kultur. Indonesia adalah Ide-Hati-dan Jiwa untuk bakti dan abdi pada nusantara tercinta ini.

EFE Douwes Dekker memulai karier sebagai wartawan-editor surat kabar sejak 1903. Ia melihat betapa busuk nan menindasnya Politik Penjajahan Belanda. Para Pendiri Budi Utomo (Sutomo & Gunawan) bersahabat karib dengan beliau, sering diskusi dan minta nasihat dari beliau.

Setelah persiapan selama 2 tahun, pada 25 Desember 1912 di Bandung, EFE Douwes Dekker bersama Cipto Mangukusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan Indische Partij (Partai Hindia). Dalam Sejarah Pergerakan Bangsa, Indische Partij adalah Partai Pertama yang bertujuan mewujudkan INDONESIA MERDEKA.

Indische Partij membuka keanggotaan lintas batas ras, semua ras: Pribumi, Eropa, Peranakan (Eropa, Tionghoa, Arab, dsb) yang tinggal di Indonesia dan MERASA dirinya ORANG INDONESIA. Cita-cita Indische Partij adalah INDONESIA BAGI SEMUA!

Balada keluarga Douwes Dekker (Ernest Francois Eugene & Eduard) telah mengguratkan prasasti abadi bagi Ke-Indonesiaan dalam Cinta, Bakti, dan Jiwa, bukan atas dasar Ras, Etnis, Suku, maupun Agama.

Insan Muda Indonesia (IMI) akan mewujudkan Cita-cita Indische Partij bagi Indonesia. Indonesia milik KITA SEMUA. Indonesia ADA karena kita BERSATU. Apabila kita TERUS BERSATU menjadi SATU SENYAWA Indonesia, sudah pasti Indonesia akan mencapai PUNCAK KEJAYAAN-nya; menjadi MERCU SUAR DUNIA!

Wahai Insan Muda Indonesia;
TERUSLAH BERSATU DAN MENCINTAI NEGERI INI!
Merdeka!

Informasi Tambahan tentang EFE Douwes Dekker:

Bagi para Insan Muda Indonesia yang ingin mempelajari lebih mendalam mengenai EFE Douwes Dekker, pemikiran dan perjuangannya silahkan membaca buku sebagi berikut:

The lion and the gadfly: Dutch colonialism and the spirit of E.F.E. Douwes Dekker
Pengarang: Paul W. van der Veur
Penerbit: KITLV Press
Tahun Terbit: 2006

Buku ini belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Semoga ada penerbit yang menerbitkannya dalam Bahasa Indonesia dalam waktu dekat agar perjuangan EFE Douwes Dekker bisa dihayati oleh Segenap Insan Muda Indonesia.

Ayo kita bangun BOROBUDUR Indonesia Masa Depan!

Ayo kita bangun BOROBUDUR Indonesia Masa Depan!

Jakarta, 1 Oktober 2009

Indonesia adalah sebuah maha-karunia Tuhan YME, kita adalah satu-satunya negara di dunia yang mempunyai paling banyak kepulauan, kebudayaan, kesenian, dari suku-suku yang mendiami kurang lebih 17,000 pulau-pulau Nusantara yang berjejer indah dari Sabang sampai Merauke, laksana zamrud. Zamrud Khatulistiwa!

Keanekaragaman adalah Indonesia. Itulah kekayaan kita.

Bapak-Bapak Pendiri NKRI (Founding Fathers) telah mempersembahkan sumbangsih yang tiada taranya dalam sejarah mahakarya politik peradaban dunia, dimana Indonesia-lah satu-satunya negara kesatuan yang mampu berdiri di atas segala hempasan ujian sampai detik ini, setelah 64 tahun NKRI. Banyak negara-negara di belahan dunia lain yang gagal mempertahankan kesatuan dan persatuannya. Salah satunya adalah Yugoslavia.

Setelah kematian Josip Bros Tito, Bapak Bangsa Yugoslavia, pada tanggal 8 Mei 1980. Yugoslavia telah terpecah-belah, dan hari ini detik ini tidak ada lagi SFR (Socialist Federal Republic) Yugoslavia. Yugoslavia telah pecah menjadi:
Croatia, Slovenia, Republic of Macedonia (1991), Bosnia-Herzegovina, Federal Republic of Yugoslavia (1992), Serbia, Montenegro (2006), dan Kosovo (2008). Karya Josip Bros Tito, Sang Bapak Bangsa, yang mempersatukan Yugoslavia sebagai satu kesatuan politik, lenyap tak bersisa!

Indonesia pun berkali-kali mengalami ancaman separatisme dan pemisahan diri dalam sejarahnya. GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang memulai aksi separatismenya pada 4 January 1976 akhirnya berhasil diakhiri melalui perjanjian damai di Stockholm Swedia pada tahun 2005.

Tuhan YME masih memberikan rahmat dan hidayah-nya pada Bangsa Indonesia. Kita telah berkali-kali melewati ujian sejarah, dan kita akan bisa menjadi Bangsa yang lebih baik lagi. Dengan rahmat dan hidayah Tuhan YME, kami - Insan Muda Indonesia - HAQQUL YAQIN, bahwa Indonesia yang mempunyai potensi begitu luar biasa:

1) Kekayaan Alam dan Bumi Indonesia yang Subur dan Berlimpah
2) Kekayaan Budaya yang eksotis dan beraneka-ragam
3) Sumber Daya Manusia yang begitu besar (dimana kita adalah salah satu negara berpenduduk terbanyak di dunia)

BISA, HARUS BISA, dan PASTI BISA

Menjadi RAYA dan JAYA
Menjadi MERCUSUAR Dunia

Apabila, saya, kamu, dia, kita semua, Bangsa Indonesia....

Mempunyai Rasa Cinta Tanah Air, Semangat Kebangsaan, dan Persatuan untuk bersama-sama Membangun Negeri ini dengan Karya Kreatif dengan didasari Akhlak dan Moral yang lurhur, warisan nenek-moyang kita, bangsa pembangun BOROBUDUR!

Mari kita bangun BOROBUDUR Indonesia Masa Depan!

Kita pernah ada di PUNCAK KEJAYAAN, pada Masa Majapahit
Kita akan sampai disana lagi!

Hidup Indonesia-ku!
Bagimu, Jiwa dan Raga!

Wahai, Segenap Insan Muda Indonesia:
Bersatulah, dan Cintailah Negeri Ini!

Tulisan ini juga dimuat di:
Facebook Group Page: Insan Muda Indonesia

Bersatu dan Gotong Royong - Warisan Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Bersatu dan Gotong Royong - Warisan Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Jakarta, 1 Oktober 2009

SARA adalah alat politik kotor kolonial Belanda yang kemudian diadaptasi oleh rezim Orde Baru. Pada hakikatnya, masyarakat Nusantara sejak berabad-abad lalu sudah hidup berdampingan dengan rukun dan gotong-royong satu sama lainnnya, dimana kebudayaan dagang pesisir pantai yang begitu egaliter dan terbuka memungkinkan terjadinya silang budaya antara satu budaya dan budaya lainnya.

Kedinamisan budaya Indonesia ini dapat dilihat bahwa Budaya Indonesia Modern saat ini adalah silang-budaya antara Budaya India (Hindu-Buddha), Tionghoa, Islam (Arab), dan juga Eropa (Belanda, Portugis, dsb). Denys Lombard dalam Magnum Opusnya (Nusa Jawa Silang Budaya - 3 Jilid Trilogy) menegaskan hal ini.

Satu hal yang menarik adalah temuan Prof Dr Slamet Muljana dalam Bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Prof Slamet Muljana, profesor pada Jurusan Ilmu Sejarah sejak tahun 1958 dan meninggal pada di Jakarta, 2 Juni 1966 dalam usia 65 tahun, menemukan bahwa sebagian besar dari Sunan-Sunan Walisanga yang menyebarkan Agama Islam di Jawa itu adalah orang Tionghoa yang telah memeluk agama Islam dan menikah dengan wanita pribumi setempat. Bahkan Raden Patah, Raja Pertama Kerajaan Demak (Kerajaan Islam pertama di Jawa) yang merupakan patron dan pelindung dari Walisanga dalam misi mereka menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, adalah juga seorang Tionghoa yang bernama asli Jin-Bun.

Tesis Slamet Muljana itu didasarkan pada laporan Penelitian Residen Poortman yang dimuat dalam buku Tuanku Rao (karangan M.O Parlindungan tahun 1964). Residen Poortman adalah Residen di Semarang pada masa kolonial Belanda, Ia ditugasi pemerintah Belanda untuk menyelidiki hal-ihwal Raden Patah. Untuk keperluan ini, ia mengunjungi Kelenteng Sam Po Kong di Semarang, dan mendapatkan akses semua dokumen-dokumen kuno di kelenteng tersebut, untuk kemudian memuatnya dalam kereta pedati.

Buku ini terbit tahun 1968 setelah Prof Slamet Muljana meninggal dunia. Kaum intelektual dan dunia ilmiah sama sekali tidak pernah membantah tesis Prof Slamet Muljana ini, namun rezim Orba yang berkuasa saat itu melarang buku ini dan menarik buku ini dari peredaran pada tahun 1971. Sudah menjadi rahasia umum, Orde Baru yang Despotik itu memecah masyarakat Indonesia dengan Politik SARA, persis seperti yang dilakukan Belanda. Selalu ditimbulkan kecurigaan antara Agama, Suku, Golongan, dan Ras.

Kini, Orde Baru sudah tumbang. Reformasi sudah berjalan sejak tahun 1998 dengan segala kekurangan dan kebaikan-kebaikannya. Buku Slamet Muljana dan MO Parlindungan telah dicetak ulang dan bisa dibeli dengan bebas di toko buku - toko buku terdekat. Zaman sudah berubah.

Marilah kita kembali pada asal-usul kita ribuan tahun lalu, pada zaman nenek moyang kita, dimana setiap suku, bangsa, dan agama, saling berinteraksi secara rukun, tolong-menolong, dan gotong royong, untuk bersama-sama membangun Indonesia Raya nan Jaya!

Watak Luhur Bangsa Indonesia sejak zaman Nenek Moyang adalah Bersatu dan Gotong Royong.

Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh!
INDONESIA BISA, PASTI BISA, dan HARUS BISA!
MERDEKA!

Wahai Insan Muda Indonsia;
Bersatulah dan Cintailah Negeri Ini!

Tulisan ini juga dimuat di Facebook Page: Insan Muda Indonesia

Wang Jing-Wei (1883 - 1944)

Wang Jing-Wei (1883 – 1944)

By: Agus Salim

Synopsis of Article:
Article Title : Wang Ching-Wei: China’s Romantic Radical
Author : Howard L. Boorman
Published : Political Science Quarterly, Vol 79, No 4 (Dec 1964), pp 504-525

History is written by the Victor. Victor shall be Heroes: yet Losers must assume Villain Role. This has been valid since time immemorial. Both roles has been attached to Wang Jing-Wei; a prominent figure in Chinese History. Be famous yet Infamous - simultaneously. This article written by Howard L. Boorman retells the biopic of Wang Jing Wei.

The contradictory emblem was attached to Wang Jing-Wei: Once praised but then condemned. He had already become a national political celebrity since his early youth, only to be remembered as forever traitor after his death. Once he was the strongest candidate for China’s National Leadership after the death of Sun Yat-Sen; father of Modern China, as he was one the closest associates to Sun. He followed Sun since he was a student, and keep assisting him as his Political Secretary. He was also one of those who circled Sun Yat-Sen at the last seconds of Sun’s deceasing life at that time. It was also Wang Jing-Wei; who wrote the last political testament hardly spelled slowly, by deceasing Sun Yat-Sen at his last finest hour in his deathbed in 1925. At that time, China was anticipating Wang Jing-Wei as her next leader, successor to Sun Yat-Sen. But History then moved to different course; Wang lost the power struggle to his strongest contender, Chiang Kai-Shek. This contradictory historical role, and also tragic epic, is beautifully - satirically expressed by the Author of this article, Howard L Boorman as follows:

"Actually men, as well as ideas, institutions, and accidents shape history. And in China it is notable that one individual, who a generation ago ranked as one of the most prominent figures of the republican period, is already obscured, his memory shrouded by both Nationalists and Communists with the darkest of drapes, that of "National Traitor". The man is Wang Ching-Wei. For nearly forty years from 1905 until his death in 1944, Wang’s energy, magnetism, and vitality served to leave his personal imprint on the political history of twentieth-century China."
(Page 504)

"… Versatile, sincere by his standards, an eloquent public speaker in a country which favors dramatic virtuosity, Wang Ching-Wei was nevertheless a thwarted man"
(Page 524)

Childhood (1883 – 1903)
Wang Jing-Wei was born on May 4, 1883 at Canton during the sunset years of Qing Dynasty (1644-1911). Even though born in Canton, and publicly known by his Compatriots as Cantonese, actually his ancestral home was at Shao-Hsing in Chekiang. History always works in a strange, magical ways by giving perfect coincidences. This is very true in Wang Jing-Wei’s case, as Chekiang, Wang’s ancestral home province, is also a native province of Wang Jing-Wei’s future nemesis contender, Chiang Kai-Shek. Due to financial grounds, Wang’s Father, Wang Shu moved from Chekiang to Canton to take a post as a legal secretary, personally employed by an official of the imperial civil service. He was the youngest of 10 children in his family. Like other children at that time, he received his early education in the Chinese Classics. Chinese Classics and History was his area of mastery and influence his evolution of thought throughout his life.

"The boy’s [Wang Jing-Wei’s] ethical and aesthetic standards during his formative years were conventionally Chinese, his later reminiscences referring particularly to the philosophy of Wang Yang-Ming (1472-1529) and to the poetry of T’ao Ch’ien (365-427) and Lu Yu (1125-1210). Like other sensitive young Chinese growing up in the eighteen-nineties, Wang Ching-Wei’s reading of Chinese history made him impatient of China’s weakness and resentful of the alien dynasty then ruling at Peking"
(Page 506)

Poverty was Wang’s constant aspects in his life during his youth. Her mother died when he was only 13, and one year later 14-years old Wang must grieve over the death of his father. Two of his three elder brothers also died soon thereafter. He had to earn money for his life and also support his family at the same time. In 1898, Wang was admitted to one of Canton academies as tutor. Not only worked, he also continued his autodidact study independently with the help of his uncle’s well-stocked library. In 1903, he succeeded in passing Kwangtung Provincial Examination and gained Qing Government scholarship for study in Japan the following year.


Japan – Study and Entry into Politics (1904 – 1907)
It was in Tokyo, that he initially encountered his pathway to political career. Again, history works with its’ magic coincidences. It was in Japan, Wang first discover his passion for politics and begin his rocketing political odyssey. Yet it was also his later collaboration with Japan, which brings his name forever in infamy, disgrace, eternally recorded in Chinese History’s Black List.

He met Hu Han-Min and other names destined to become prominent figures in politics of Republican China, and joined Tung Meng Hui in 1905, a year before he obtained his degree of Constitutional Law and Political Theory at the Tokyo Law College in 1906. Tung Meng Hui was a Chinese Patriotic Society formed in Japan in 1905 by Sun Yat-Sen, Huang Xing, and other radical activists. The aim of Tung Meng Hui was the Awakening of Chinese Nation by overthrowing the ruling corrupt decadence Qing-dynasty, which was accused as the cause of the declining Chinese state at that time. He was then elected as one of the three councils of the Tung Meng Hui. He was only 22 years old at that time. From this point, he began to develop his personal association with Sun Yat-Sen. This political association lasts till both men died.

With his excellent literary skill, Wang established his reputation as brilliant polemicist-writer in Min Pao (Tung Meng Hui’s official newspaper-alike-publication). Soon, he began to gain fame as eloquent conversationalist in a literary duel with Liang Chi-Chao.

Southeast Asia (1907 – 1909)
In 1907, Sun Yat-Sen was forced to leave Japan. Wang and Hu Han-Min joined Sun in his political exile, and then moved to Southeast Asia to expand Tung Meng Hui’s organization, and also to gain both political – financial support from overseas Chinese communities resided in these areas. In this time, Wang discover and expand his talents, skills, and abilities to the fullest:

"…Wang continued to demonstrate his talents not only as a forceful journalist but also as persuasive public speaker on behalf of a political movement which had as yet won scant success in the effort to rid China of Manchu rule. Wang’s oratorical brilliance, a quality for which he remained well known throughout his public career, played on important role in attracting new overseas Chinese support to the Tung Meng Hui and in establishing new branches, the most important of which were at Singapore and Penang"
(Page 508)

Articulate oratorical skill, combined with eloquent literary talent, resided inside handsome figure of Wang Jing-Wei was really a perfect blend of National Hero Figure.
"Wang Ching-Wei was a many-sided man: a handsome, perennially youthful, romantic poet in quest of China’s quintessential soul …"
(Page 505)

"Wang’s youthful appearance and personal allure were legendary in republican China; even after his death, some elderly female hearts in China and Hong Kong beat faster when his name was mentioned. An excellent photograph of Wang in his prime appears in T’ang Leang-li (ed), Reconstruction in China: A Record of Progress and Achievement in Facts and Figures (Shanghai, 1935), following p. 12"
(Footnote Point 2, Page 505)

Return to Japan (1909 – 1910)
Sun Yat-Sen left Singapore for Europe in 1909, while Wang returned to Japan. He became editor of a short-lived clandestine edition of the revived Min Pao. Wang’s editorial tone at this period was very militant. In the final issue of Min Pao (1 February 1910), he wrote ferociously in "On the Revolutionary Current" advocating assassination to spark the overthrow of Qing Dynasty. Wang had talked the walk, said what he meant. Soon, he would really walk the talk. He truly means what he had said.

National Hero (1910 - 1911)
Wang journeyed incognito with a small group of fellow conspirators to Peking early in 1910 and led an attempt to assassinate the Manchu Prince Regent by placing a massive bomb under a bridge over which the prince was scheduled to pass. This plot was leaked out and ended in failure. Wang was arrested in April 1910. He demonstrated extreme courage during the interrogation by Qing authorities. However, he was not executed and only imprisoned, even though he had prepared himself to die as a martyr.

He was released in the wake of Wuchang Revolt (October 1911), already established his image as national hero at 28 years-old.

Political Vacuum, Marriage, and years in France (1911 – 1917)
Wang’s excellent political exploits during Pre-Republican Era, somehow, did not progress in parallel with what he done during Post Revolution – Early Republican Era. He didn’t held any significant influencing post in government, but only involved in organizing a Society for the Promotion of Virtue, and a movement to promote Chinese students to go to France for a combined work-and-study program.

But in this political hectic pause period, Wang Jing-Wei married with Chen Pi-Chun. Chen Pi-Chun was a daughter of wealthy overseas Chinese family in Penang. Wang got acquainted with Chen Family during his Southeast Asian days with Tung Meng Hui. After the marriage, Wang left China for a wedding trip to the Straits Settlements and Europe. He spent the First World War years in France. There he involved with the training of Chinese students there but very minimally involved with political dynamics at motherland China. He returned to China in late 1917 and joined Sun Yat-Sen, together with him organizing opposition regime in Canton.

Personal Aide to Sun Yat-Sen (1917 – 1925)
Since 1917, Wang Jing-Wei spent all his time as a member of personal aide to Sun Yat-Sen until Sun’s death in 1925. Henceforth, Chinese people and also he, himself, regards Wang Jing-Wei as a true heir of Sun Yat-Sen.

"Believing himself to be the true heir of Sun Yat-Sen, he was resentful of Chiang Kai-Shek and his wife (Soong Mei-Ling), viewing Chiang as a political parvenu of limited intellectual background and distrusting the bona fides of the Chiang-Soong ‘dynasty’."
(Page 524)

"Wang believed that he should hold undisputed leadership over the Kuomintang but found himself increasingly harassed by sharp criticism from political antagonists…"
(Page 513)

Sun decided to collaborate with Communist Party of China, whose internal organ dominated by Comintern, during 1922-1923. The party started to be reorganized into Leninist line. Wang occupied an influencing political position at Canton at this time. His political career was going to an ascending progressive direction. At the First National Congress of the Kuomintang in January 1924, Wang was elected second-ranking member of the Central Executive Committee after Hu-Han Min at the first.

Sun Yat-Sen kept struggling for National Unification. In Late 1924, he made his final journey to talk with power holders in Peking: Chang Tso-Lin, Feng Yu-Hsiang, and Tuan Chi-Jui. Wang Jing-Wei served as Sun’s confidential secretary at this event. Wang, Sun, and their group left Canton for Peking in Late November 1924. From Shanghai, Sun proceeded northward via Japan, whilst Wang Jing-Wei went directly by train to Tientsin to finish arrangements for the talks. At the end of the year 1924, Sun arrived in Peking only to find out that Tuan Chi-Jui, the ruling Chief Executive in Peking, had no intention to let Sun and Kuomintang to interfere with the operation of the new regime there.

Sun’s health was swiftly deteriorating at this time. He was diagnosed infected by cancer and he had to be admitted to the hospital of the Peking Union Medical College. Sun’s death countdown was a show of the finest hour episode in Wang’s entire political career. This scene was portrayed dramatically by Harold L. Boorman as follows:

"After two decades of association with Sun Yat-Sen, Wang Ching-Wei was the most senior and trusted Kuomintang leader then in Peking. Except for Sun’s young second wife, Soong Ching-Ling, and his son, Sun Fo, probably no individual was closer to the dying man. On February 24, Wang drafted Sun’s final political testament, or will, a brief injunction to Sun’s followers to carry the national revolution through to completion in accordance with the principles set forth in his major writings. This document Sun signed on March 11, 1925, the day before his death"
(Page 511)

Kuomintang Power Struggle Post-Sun’s Death (1925 – 1927)
After Sun’s death, the competition for highest executive power in Kuomintang began. Two leading contenders for the national leadership at that time were Hu Han-Min and Wang Jing-Wei. Both Wang and Hu had been closest personal associates of Sun Yat-Sen. They also had developed close personal friendship since they were students in Tokyo in 1904. Wang Jing-Wei succeeded in containing Hu Han-Min’s political influence in the National Congress of Kuomintang in January 1925, in which most of Hu Han-Min’s associated were dropped from the position, and a substantial group of Wang’s supporter was elected to the central party’s apparatus.
Shortly thereafter, Wang Jing-Wei had a clash with Chiang Kai-Shek, commander of the Nationalist military forces at Canton. After this clash, Wang Jing-Wei left for Europe in the spring of 1926.

The other distracting issue after Sun’s death was the status and continuity of Kuomintang’s alliance with Chinese Communist Party (CCP). After the Nationalist military triumph in unifying China, internally they started to discourse on the status of Kuomintang’s alliance with the CCP. Facing this issue, Kuomintang was split into two-factions since the beginning of 1927: Right-Wing group centered on Chiang Kai-Shek at Nanking, and Left-Wing Group centered in Hankow.
Left-Wing Group, intended to compete the encroaching influence of Chiang Kai-Shek, whose power grows swiftly since successful Northern Military Expedition, called Wang Jing-Wei back from Europe to lead the Left-Wing Group.

Leading Left-Wing Kuomintang (1927)
Chiang Kai-Shek was indeed an ardent anti-communist throughout his life. He shall experience a bitter memory with Communist when he lost China to them in 1949. In April 1927, Right-Wing Kuomintang under Chiang broke the alliance with CCP by executing a bloody coup in Shanghai. Wang Jing-Wei and Left-Wing Kuomintang also severed their relations with Communist in July 1927 after M.N. Roy, the Comintern representative for China based at Hankow, indiscreetly informed him on Moscow’s aggressive plan for China. This, at the end unified previously split Left-Wing Kuomintang and Right-Wing Kuomintang on their policy towards Comintern and CCP.
However, integration in organizational politics and strategy never followed by real unity of the individuals in power. Power struggle amongst contenders: Wang Jing-Wei, Chiang Kai-Shek, and Hu Han-Min. Communist led-Canton Commune Affair happened in December 1927. Wang and former Left-Wing Group were harangued by sharp criticisms from former Right-Wing Group in the party. Disturbed yet disappointed, Wang Jing-Wei unexpectedly left Shanghai to return to France.

Rival Government to oppose Chiang Kai-Shek in Peiping (1928 – 1931)
Within 1928 – 1931, either in China or overseas, Wang led the "Association for Reorganization of the Kuomintang", which is an opposition faction to Chiang Kai-Shek domination within Kuomintang.
At that time, Chiang practiced dictatorial power in Kuomintang Party and Government. At the Kuomintang’s Third National Congress in March 1929, congress dominated by Chiang’s supporters charged Political Deviationism on Wang Jing-Wei. Chiang permeated into all labyrinths of Kuomintang, but not without foe. Feng Yu-Hsiang and Yen Hsi-Shan - both were former Warlord submitted to Kuomintang rule – most powerful opponent to Chiang, coalesced with Wang Jing-Wei in 1930 to establish a rival "national government" at Peiping. This opposition movement failed as Chang Hsueh-Liang, the Young Marshall who controlled Manchuria sided with Chiang. Anti-Chiang Coalition at Peiping was thus ended in demise. Wang Jing-Wei, once again, had a his share as Political Refugee, in history.

Joined Canton Movement to oppose Chiang Kai-Shek (1931)
Chiang Kai-Shek house arrest of Hu Han-Min at Nanking sparked new wave of opposition to Chiang. Ambitious Kwangtung and Kwangsi Military leaders use this event as a robust ground in legitimizing their opposition to Chiang Kai-Shek. Begun in early 1930, this time the opposition movement was based in Canton. Wang joined The Canton Movement to oppose Chiang, once again.

Inagurated as Prime Minister of China (1932)
September 1931, Japanese Military attacked Manchuria. Faced by stronger, more superior nemesis from outside, all the contending Kuomintang leaders, had to put aside their feud and established a temporary political compromise. Canton Movement voluntarily dissolved and integrated with Chiang Kai-Shek at Nanking. The Reorganization of National Government was convened in winter 1931-32 to appoint all Kuomiontang leaders, both Nanking Group and Opposition Group members, into their respective government position. Wang Jing-Wei officially appointed President of the Executive Yuan, or Prime Minister on January 28, 1932. As the War with Japan started, Wang began his collaboration with Chiang Kai-Shek from February 1932 – November 1935. Chiang led the military operations in annihilating CCP bases in Kiangsi, whereas Wang headed the Government at Nanking. The times of Wang Jing-Wei took charge in Nanking is considered the apex of the Nationalist Regime in China Mainland. Wang bring Republic of China into its zenith, its hallmark, its pinnacle.

"The dimension of reconstruction and expansion were varied: fiscal and financial reform; development of communications, including civil aviation; rural rehabilitation; the modernization of university education; the revitalization of public morals and morale. From 1932 to 1935, when Wang Ching-Wei headed the Executive Yuan at Nanking, his political authority and personal incorruptibility did much to make that the most progressive period in the history of the Nationalist Government."
(Page 514 – 515)

History never gives Wang full opportunity to vindicate his merit. Wang led the Nationalist Government into its zenith, but without full access. It was not an easy task, as he had to perform his mark on history with desperation; under the auspices of uneasy alliance with Chiang.

"Although Wang was prime minister, Chiang Kai-Shek never fully trusted him and ensured that his own relatives by marriage, H. H. Kung and T. V. Soong, held key posts at Nanking to guarantee appropriate checks on Wang. "
(Page 515)

Exasperated by Chiang distrust to him, Wang left Europe in October 1932, while T. V. Soong replaced his authority in Nanking. Wang returned to China in March 1933, and resumed his task as Executive Yuan head and Prime Minister.

Because he was involved in negotiations with the Japanese authorities on the establishment of railway and mail communications between China proper and Manchukuo, and the legal agreement defining Japanese position on China, he played the unpopular political role, as the current collective national public opinion at that time was against Japan. His life was at stake for this role.

Assassination attempt and Wang’s lost of political power (1935 – 1938)
September 1, 1935, in the midst of Kuomintang Central Executive Committee Meeting, Wang was shot by an assassin disguised as a photographer. He was severely wounded. Surgical treatment at Shanghai failed to remove all the bullets. Wang must had medical care in Europe, thus involuntarily resigned all his official posts in December 1935. Wang left for Europe in February 1936.

To 1936, the Nationalist Regime stance towards Japanese Military occupation and encroachment into China’s territory had been passive, pacifying, since they believed that due to China’s vast territory, Japan would not be able to occupy all the Chinese soil, and really win the war. So, the Nationalist Military focused more of its effort to exterminate the Communist forces, whilst applied passive military position towards Japan. Therefore, the duet head of the Nationalist Government; Wang Jing-Wei and Chiang Kai-Shek had been taking unpopular policy path, despite emerging wide-popular sentiment for a joint unified front of Nationalist Regime and Communist force to oppose Japan Military voiced by various influencing pressure groups, such as students, intellectuals, patriots, and also people in common.
All of these events intersected and exploded in Xian Incident of December 1936, when Zhang Xue-Liang, the Young Marshall, kidnapped Chiang Kai-Shek and forced him to form an alliance with Communist to counter Japanese Military attack on China. Thus, the Nationalist – Communist alliance was once again established. To Chiang Kai-Shek, Xian Incident and its aftermath, was a blessing in disguise, as he obtained full power as top commander of the Nationalist war cause. Wang Jing-Wei himself hurriedly came back to China from Europe soon after the Xian Incident. But it was too late. Wang’s power and influence in both party and government would soon getting weaken. In Special Wartime Congress at Hankow in March 1938, Chiang’s power was confirmed, when he was elected tsung-t’sai (leader). Wang was elected deputy. But this position was more symbolic titular than functional. Wang’s political associates were removed slowly from the central political arena.

Wang Jing-Wei’s change to pacifist attitude towards Japanese Invasion (1938)
Current real condition of China – Japan war, which showed no slightest optimistic future on China’s victory at the end of the war, has shaped Wang Jing-Wei’s own original view that China should spend more effort to formulate a peaceful solution with Japan.

"During the first year of the war, he became discouraged over the eventual outcome and proposed that the National Government negotiate a peaceful settlement with Japan. When the government evacuated to Chungking after the fall of Hankow in October 1938, Wang was increasingly dubious of China’s ability to sustain a protracted war against the well-trained military forces and well-mobilized industrial system of Japan."
(Page 516)

On December 16, 1938, Wang had a talk with Chiang, without mentioning his current pessimism on current Anti-Japanese War development. Then, on December 18, 1938, Wang flew to Chengdu for a ceremonial occasion, then to Kunming. Finally, on December 21, 1938, Wang arrived in French Indochina.
Hanoi: Initial talks with Japan to establish Collaborative Regime (1938 – 1939)
December 30, 1938, the day after Wang arrived in Hanoi, French Indochina, Prince Konoye, the Japan’s premier, issued a statement declaring that Japan would collaborate with a new Chinese regime to readjust Sino-Japanese relations on the foundation of a "new order in East Asia" principle. Nationalist Government in exile under Chiang; based in Chungking; swiftly refused this offer without any faltering.

Wang Jing-Wei, reacted to Chungking’s prompt refusal to Japan’s collaboration offer, then transmitted a telegram to the central government at Chungking on 29 December 1938, in which in it he expressed his advocacy on peaceful settlement with Japan, and requested Chiang Kai-Shek to halt armed resistance against Japanese Military.

Acknowledging Chiang and Chungking Regime’s firm, unyielding stance to keep confronting Japan, Wang remained at Hanoi to continue talks with Japanese representatives from Tokyo. He thought of leaving for France and await China’s inevitable defeat to Japanese Military might, which also means Chiang’s Regime doom, so that succeeding its aftermath, Wang would be able to return to China to establish a new Nationalist Government under him.

Wang’s dream never realized. History had placed Chiang and China under severe attack from Japanese Military during Chinese Anti-Japan Resistance War 1938 – 1945, but Chiang survived from the Japanese attack, and also from the power struggle with Wang Jing-Wei. Wang never succeeded in establishing his new Nationalist Regime. It was his short-lived Collaborative Regime in Nanking and its’ key Government apparatus members that would meet its’ doom under Chiang’s War Criminal Tribune prosecution following the end of World War Two. Apart from this, Wang Jing-Wei was lucky enough to meet his death before witnessing the bitter fall of his Nanking regime.

Distant from China, Hanoi soon proved not to be a comfortable stop for Wang. In the early morning of March 21, 1939, Secret Agents sent by Chungking entered his residence in Hanoi and fired shots all over. This was once again, one of many assassination attempts on Wang’s life. Wang survived this assassination attempt, but his long-time associate and closest confidant, Tseng Chung-Ming, was fatally wounded and died. Wang was extremely infuriated by the death of Tseng, and now the utmost antagonistic point of his rivalry with Chiang Kai-Shek has been reached. There would never be a turning back. There were never be. During the last years of his life, Chiang Kai-Shek was his most devilish nemesis, and he spent all efforts to confront him, including working actively with Japan; China’s major foreign enemy.

Heading a Puppet "National Government" in Nanking (1940 – 1944)
Wang left Hanoi for Shanghai in spring 1939 to confer with Chinese who were active in North China puppet regime and in the Japan-supported Reformed Government based at Nanking. The aim of this conference is to organize a merger of the various Chinese administrations in Japanese-occupied area in China. Then, Wang visited Tokyo in May 1939, and again in October 1939. The joint statement with Japanese authorities was secretly signed at the end of that year. However the copies of this Joint Statement were leaked by two Wang’s associate defected to Hongkong in January 1940. Publication of the secret agreement between Wang and Japan stimulated public fury nationwide. But Wang never hesitated to turn back.

The new "National Government" of the Republic of China supported by Japan was officially established on March 30, 1940 with Wang Jing-Wei as its head. All the executive governmental structure and bodies were directly adopted from the legitimate national government. First thing he did after assuming head of state title, was issuing an open invitation to all civil servants and party officials in Chungking to participate in his government. Eventually, Wang became the real head of state, grasping his sense of prophesied destiny as true heir of Sun Yat-Sen, but this time by Japanese support.

"…Wang Ching-wei took the position that his government was the legitimate national government of China; his party was the Kuomintang; his flag was the Kuomintang flag; and the principles of his government were the Three People’s Principles of Sun Yat-Sen"
(Page 519)

The heir had become a puppet king. His power again was more symbolic, titular rather than real; depended on the whims of Japanese military strategic interests in China.

"Actually, since Japan’s original intention in supporting Wang had been to force Chungking into entering peace negotiations, it delayed granting formal recognition to the Nanking regime until the informal peace feelers to Chungking had apparently failed. Tokyo did not sign a basic treaty with Nanking and accord formal diplomatic recognition to that government until November 30, 1940, almost two years after Wang had first left Chungking, and eight months after his regime had been established. The November 1940 agreement, contrary to what Wang and his followers had hoped, maintained strong Japanese military and economic domination over the occupied areas while granting the Chinese authorities at Nanking only token responsibility for internal administration."
(Page 518 – 519)

World War Two moved its pendulum more favoring towards Axis powers in 1940 – 1941, before America joined the War. In this time, Wang became more pessimists towards China’s Anti-Japan War Resistant effort. Politically, China at that time was divided into three parts: Nationalist China under Chiang Kai-Shek in Chungking, Communist Revolutionary Government in Yenan, and Japanese-occupied China. This Japanese-occupied China included: Manchukuo, the Manchurian Regime established in 1932 under its’ puppet emperor Henry Pu Yi; the North China Puppet Regime at Peiping; Meng-chiang, the Japanese-controlled government in Inner Mongolia; and Wang Jing-Wei’s "National Government" at Nanking.

Japanese attack on Pearl Harbour on December 7, 1941; provoked the furious America sided with Allies in the War. The pendulum began to move into opposite direction, the Allies. Japanese Military started to receive severe blow elsewhere in the Pacific Battlefield Arena, and forced to compromise. Wang visited Tokyo between End of 1942 and Early 1943, in which he conferred with Prime Minister Tojo and other key figure in Japanese Government. As a result of these conferences, Japan agreed to surrender their concessions in China and the right of extraterritoriality, whilst Nanking Government formally declared war against the United States and Great Britain as the trade-offs on January 9, 1943. Nanking New "National Government" of the Republic of China now joined Japan into the World War Two Arena.

Following Prime Minister Tojo visit to China, on summer of 1943, agreements were signed under which Nanking assumed administrative control over the International Settlement and the French Concession at Shanghai. The Nanking authorities entered into formal possession of these areas on August 1, 1943.

As Japan fully joined into the World War, Japan now pursued more moderate, pacifying policy towards China. Wang’s Government status elevated to become a more equal in its relationship to Japan. A new treaty of alliance between Nanking and Tokyo was formulated on October 30, 1943. This treaty voided earlier treaty concluded on November 30, 1940, in which inside the new treaty’s preamble literally expressed the resolve of the two governments to cooperate as equal and independent neighbors in the establishment of Greater East Asia. Even though militarily still controlled by Japan, Wang’s Government had received more prestigious status diplomatically.

Throughout 1944, Japan also approached Chungking through General Tai Li, adapting a more moderate policy, as its military power was mostly absorbed into the Pacific War with Allied. Concurrently, Chungking was also troubled by Communist under Mao Ze Dong. A short period of undeclared truce between Nanking and Japanese-backed Chungking occurred. In politics, there were neither real friends nor real enemies.

"…the idea of joint Chungking-Nanking operations against the Chinese Communist reportedly gained some support from conservative elements in the Kuomintang who viewed the Communists as a greater long-term threat than the Japanese…"
(Page 522)

Wang consistently lived with diabetes and 1935 assassination attempt wounds as he never fully recovered. On November 1944, Wang Jing-Wei was again forced to go abroad to Japan for his medical treatment. Wang never returned to his motherland alive. At Nagoya, Japan, he passed away on November 10, 1944, at the age of sixty-one. In Japan, first he encountered Tung Meng Hui and met Sun Yat-Sen, thus found his passion and destiny into revolution and politics. Finally, also in Japan he ended both his mortal and political life. With Japan, he left his footprints in Chinese History condemned forever as Han-Jian (Traitor to the Han Chinese), despite multitudes of achievement, lots of merits had he dedicated to Chinese people emancipation and national awakening.

Wang Jing-Wei was lucky enough to die before witnessing the doom of his regime, in which all of his closest associates in Japanese-backed Nanking new "National Government" must face death sentence under Chiang Kai-Shek’s legitimate government after the war ended. Unfortunately, Wang never rested in peace. Few years later, under Chiang’s approval Kuomintang military exploded his tomb in Nanking. A tragic epilogue for a man cherished as national hero at his youth. Thus, how Wang Jing-Wei ended, From China’s romantic radical only to be remembered in Chinese History as Traitor, forever.

Howard L. Boorman concluded Wang’s doomed career at the finale part of this article.
"Wang possessed virtually all of the qualifications required for political success in republican China except one: control of military power. Lacking that vital element, he relied on personal brilliance and virtuosity rather than on political consistency, theoretical insight, or organizational ability. Throughout his adult career, Wang was pre-eminently the opportunist. He failed to create or adapt any unified body of political doctrine which could rally mass support; and he never succeeded in building an integrated political organization through which words could be transmuted into reality. Attractive as he was to many Chinese, Wang Ching-wei was ultimately a dreamer."
(Page 525)

Jakarta, 17 December 2008, approximately 17:31 WIB