Sunday, February 14, 2010

Hang Nadim dan Tuah Sumpah Hang Tuah

Hang Nadim dan Tuah Sumpah Hang Tuah

Jakarta, 1 Febuary 2010

Minggu lalu, saya berkunjung lagi ke Jambi untuk kesekian kalinya. Memang saya selalu berkunjung ke Jambi dalam frekuensi waktu tertentu untuk menengok Ayah saya yang berdomisili di Jambi sejak tahun 1999.

Berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya ke Jambi, kali ini saya sempat bertamasya ke Pulau Batam dan Singapura selama beberapa hari bersama ayah.

Adalah hal yang menyenangkan lagi melegakan hati dapat meluangkan waktu bertamasya bersama ayah tercinta, dimana waktu untuk bersua dengan ayah pun sudah sedemikian langkanya, dimana ruang, waktu, kewajiban pekerjaan, kesibukan pribadi dan lain-lain hal menjadi dimensi yang memisahkan saya dan ayah. Hanya Cinta yang tulus masih dapat menyatukan kami.

Saat menjejak kaki di Bandara Udara Batam, barulah saya mengetahui nama Bandar Udara dari Pulau Batam: Bandar Udara Hang Nadim, yang tercetak gagah menantang langit, menghiasi cakrawala angkasa raya di sekitar airport. Bandar Udara adalah bagai serambi sebuah negeri, dan gerbang bagi para pelancong. Tak heran, semua negara berlomba mempercantik Bandar Udara sebagai Gerbang Negeri-nya.

Berbeda dengan negara-negara tetangga lainnya di kawasan ASEAN; Indonesia selalu memberikan nama bagi hampir semua Bandar-Bandar Udara yang tersebar di seantero Nusantara dengan Nama Pahlawan Revolusi, Pejuang Kemerdekaan, ataupun Pahlawan-Pahlawan dari Zaman Sejarah Indonesia Feodal Kuno.

Hal ini amat jelas dengan penamaan Bandar Udara Utama Indonesia di Ibukota Jakarta, serambi negeri dan pintu gerbang pelancong ke Indonesia: Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, yang mengabadikan nama dwitunggal proklamator Bapak-Bangsa, Soekarno-Hatta, sebagai perbandingan dengan Changi International Airport (Singapore), Kuala Lumpur International Airport (Malaysia), dsb.

Begitu pula dengan Bandar Udara di setiap ibukota propinsi maupun kota-kota lainnya dari Sabang-Sampai-Merauke, hampir semuanya dinamai dengan nama tokoh pahlawan dan pejuang Indonesia, baik dari era kontemporer maupun kuno, seperti: Juanda (Surabaya), Ngurah Rai (Bali), Halim Perdanakusuma (Jakarta, sebelum Soekarno-Hatta), Fatmawati Soekarno (Bengkulu), Sam Ratulangi (Menado), Adi Sucipto (Yogyakarta), Adisumarmo (Solo), Achmad Yani (Semarang), Husein Sastranegara (Bandung), Sultan Hasanuddin (Makassar), Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang), Sultan Thaha (Jambi), Sultan Iskandar Muda (Aceh), Pattimura (Ambon), Raden Inten II (Bandar Lampung), dan yang baru saya singgahi: Bandar Udara Hang Nadim, Batam. Namun siapakah Hang Nadim ini?

Saya dan sebagian besar dari anda semua sudah tentu lebih sering mendengar nama Hang Tuah ketimbang Hang Nadim. Hang Tuah adalah Laksamana gagah perkasa, sakti mandraguna lagi cerdik cendekia nan bijaksana dari Kesultanan Melaka yang bersama dengan ke-empat sahabatnya: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu, mengabdi di bawah pemerintahan Sultan Mansur Shah (1459-1477) pada masa pemerintahan Dinasti Kesultanan Melaka (1402-1511).

Lima Sekawan Hang bahu membahu dengan Bendahara (Perdana Menteri) Tun Perak dengan segenap kemampuan dan pengabdian berhasil membawa Kesultanan Melaka ke Puncak Kejayaannya, sehingga di masa Pemerintahan Mansur Shah kekuasaan Kesultanan Melaka berhasil berekspansi ke Selangor, Bernam, Siak, Munjuru, Rupat, Singapura, Bintan, dan Pahang. Kombinasi antara ekspedisi militer dan strategi perkawinan politik berhasil membuat Kerajaan tetangga tunduk di bawah pengaruh kekuasan Sultan Mansur Shah.

Kesuksesan Hang Tuah, ditambah dengan kemahirannya dalam bersilat dan juga mitos seputar kesaktiannya membuatnya laksana tokoh separuh-dewa, dan dikenang generasi kemudian sampai hari ini baik di Indonesia maupun Malaysia.

Makamnya di Tanjung Keling, Malaka dipugar megah oleh pemerintah Kerajaan Malaysia masih dapat diziarahi saat ini, menjadi Simbol Kedigdayaan dan Kebanggaan Bangsa Melayu di masa silam bagi Rakyat Malaysia. Di Indonesia, nama Hang Tuah dan ke-4 sahabatnya diabadikan sebagai nama Jalan-Jalan di bilangan Menteng, Jakarta, dan juga di kota2 lain di seluruh Indonesia.

Nama Hang Tuah juga diabadikan menjadi nama salah satu nama Kapal Perang TNI AU: KRI Hang Tuah. KRI Hang Tuah adalah sebuah Korvet milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang diserahkan kepada Indonesia sebagai realisasi dari Konferensi Meja Bundar 1949 yang mengakui eksistensi Bangsa Indonesia yang baru lahir dari rahim sejarah secara berdarah-darah melalui Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1949.

Tuah KRI yang dinamai Hang Tuah seakan ikut menumpas pemberontakan RMS tahun 1950. Namun Tuah 'Hang Tuah' harus tamat pada 28 April 1958, dimana KRI Hang Tuah tenggelam di Perairan Balikpapan, Kalimantan Timur, setelah ditembak jatuh 2 pesawat pembom Douglas B-26 Invader yang dikemudikan Allen Lawrence Pope, seorang pilot bayaran asal Amerika Serikat, yang berperang di pihak Permesta. Inilah sekeping puzzle dari sebuah Mosaik Besar sebuah Lukisan yang bercerita tentang interfensi dan pelecehan Amerika Serikat di sebuah negeri yang bernama Indonesia. Sebuah kisah tentang cita-cita kemerdekaan untuk berdaulat sepenuhnya dan mandiri, yang harus berakhir setelah G-30-S pada tahun 1965, dan Orde Baru menghujamkan paku terakhir pada peti mati kedaulatan dan kemerdekaan sejati Indonesia.

Sejak saat itu, sampai hari ini, bisa dibilang Indonesia adalah Negeri Merdeka yang setengah jajahan. Terjajah kedaulatannya, ekonomi, dan juga budayanya. Kita sedang mengalami krisis identitas maha parah.

Sepeninggal Mansur Shah, Kesultanan Melaka diperintah oleh para pengganti yang kualitas kepemimpinannya tidak sebaik beliau. Hang Tuah pun akhirnya wafat, namun beruntungnya Kesultanan Malaka masih mempunyai seorang Laksamana cakap, cendekia nan tangguh yang menjadi pengawal dinasti. Ia adalah Hang Nadim.

11 September 1509
Armada Portugis berjumlah 4 Kapal dibawah pimpinan Admiral Diego Lopez De Sequiera mendarat di Malaka. Diego diperintahkan Raja Manuel I untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Malaka.

Atmosfir Politik Dunia saat itu dalam situasi panas karena konflik Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah. Seluruh dunia Kristiani dan Muslim mau tak mau turut larut dalam Konfrontasi Perang Salib, lebur dalam atmosfir konflik maha panas nan kejam seperti era Perang Dingin antara USA dan Soviet pada akhir abad 20.

Raja Manuel I (Portugal) saat itu secara Geopolitik termasuk dalam Kubu Kristiani, mempunyai Visi Besar dalam rangkaian Strategi dan Kamapanye Politik-Militer yang dinamakan Reconquista (Penaklukkan Kembali) untuk membalas kekalahan Kristen dibawah Islam pada Perang-Perang Salib sebelumnya. Visi Manuel I adalah untuk memblokade Ekonomi Dunia Muslim dengan menguasai arus Perdagangan Dunia yang berpusat pada 3 Pelabuhan Utama Dunia: Aden, Ormuz, dan Malaka. Malaka adalah salah satu target untuk dikuasai dalam Visi Besar Agresi Rakus Manuel I.

Niat Bukus nan Rakus Imperial Portugal untuk menghujamkan Kolonialisme di tanah Malaka tercium oleh Mansur Shah, dan para menterinya merumuskan solusi pembunuhan pada Diego. Beberapa awak kapal Portugal tertangkap dan dibunuh, namun Diego berhasil lolos dengan armadanya kembali ke Portugal.

Manuel I murka dan mengirimkan Alfonso D' Albuquerque (1453-1515) dengan armada berkekuatan 17-18 kapal dan prajurit berjumlah sekitar 1200 orang untuk melaksanakan eksepedisi penghukuman atas Malaka.

Serangan pertama pada Juli 1511 gagal menaklukkan pertahanan kuat Malaka, namum Serangan Kedua pada Agustus 1511 berhasil merebut Malaka, ibukota Kesultanan Malaka. Ibukota Direbut, Sultan Mahmud Shah terpaksa melarikan diri dari Ibukotanya untuk melakukan perlawanan. Portugis segera membangun benteng kokoh A Famosa, bersiap menghadapi serangan balik Malaka, sekaligus aktif memburu Mahmud Shah dalam pelarian, untuk membasmi perlawanan Malaka sampai tuntas tak bersisa. Dinasti Malaka di ujung tanduk, seakan tinggal menghitung hari menunggu hari akhirnya, Sirna Ilang Kertabumi.

Sejarah adalah panggung bagi para Aktor Sejarah, dan Aktor Sejarah adalah pengemban misi suci untuk menciptakan takdir sejarah, memahat prasasti histori indah nan megah untuk kenangan generasi berikutnya. Aktor pelaku sejarah jualah penenetu arah Sejarah dengan segenap Kemauan Keras dan Kemampuan Lawas-nya mengubah Arah Takdir Sejarah, dan mengemban peran Mesias, yang menyelamatkan sebuah Bangsa.

Bagi Dinasti Malaka dan Mahmud Shah saat itu, pada hari-hari terpanjang nan sulit bagi kelangsungan eksistensi sebuah pemerintahan, Mesias dan Aktor Sejarah itu adalah Hang Nadim.

Hang Nadim dilantik menjadi Laksamana Kesultanan Melayu menggantikan Laksamana Khoja Hasan yang wafat. Epos Laksamana Dinasti Melayu terbesar setelah Hang Tuah dimulailah. Bila Hang Tuah mendampingi Mansur Shah membawa biduk Dinasti Malaka menuju Puncak Kejayaannya, bagai peran Gajah Mada mendampingi Hayam Wuruk dalam Alegori Histori Majapahit, maka amanat sejarah yang diemban Hang Nadim jauh lebih berat: Mengawal Dinasti Malaka melewati masa-sulitnya dan menyelamatkannya dari Kepunahan. Pendahulu Hang Nadim, Sang Laksamana Hang Tuah, pernah mengucap sumpahnya: 'Takkan Melayu Musnah dari Dunia'. Seperti Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya untuk mempersatukan Nusantara dibawah Panji Majapahit, yang telah ditunaikan selama hidupnya, maka adalah Tugas Sejarah Hang Nadim untuk menunaikan Sumpah Hang Tuah atas kesinambungan Eksistensi Melayu dibawah Dinasti Malaka.

Hang Nadim menunaikan Amanat Sejarah itu dengan Sangat Baik. Dua kali Nadim memimpin Armada Malaka menyerang Benteng A Famosa di Malaka, pada tahun 1519 dan 1524 untuk merebut kembali Malaka dan mendudukkan kembali Tahta Mahmud Shah ke Ibukota Malaka. Pada penyerangan tahun 1524, Hang Nadim hampir berhasil merebut kembali Malaka. Benteng A Famosa dikepung rapat oleh Laskar Malaka, Portugis frustasi dan hampir menyerah. Namun Kekuatan Bala Bantuan Portugis dari Goa datang tepat pada saat-saat kritis, dan terjadi pertempuran sengit yang berhasil mematahkan kepungan Laskar Malaka yang harus mundur kembali ke Bintan, Ibukota Pemerintahan Mansur Shah dalam pelarian.

Kepemimpinan Hang Nadim juga berkali-kali berhasil mematahkan Invasi militer Portugis yang bernafsu rakus melenyapkan Melayu dibawah Kesultanan Malaka selama-lamanya dari Muka Bumi. Hang Nadim berhasil menunaikan Sumpah Hang Tuah untuk mempertahankan eksistensi Melayu dibawah Dinasti Malaka di hari-hari terbiadab seakan tanpa harap. Portugis akhirnya terpaksa menerima posisi stalemate dengan Malaka.

Kelelahan dan frustasi karena kegagalan merebut kembali Malaka pada ekspedisi militer tahun 1524, tak lama setelah itu, Hang Nadim wafat di Pulau Bintan. Makamnya di Desa Busung, Kecamatan Bintan Utara, Pulau Bintan, yang saat ini secara administratif masuk ke dalam Propinsi Kepulauan Riau, masih berdiri tegak nan gagah, seakan dalam Pusaranya Hang Nadim masih berani berbisik: 'Takkan Melayu Hilang Di Dunia'.

Sepeninggal Hang Nadim, Mahmud Shah melupakan mimpinya untuk merebut kembali Ibukota Malaka, dan meninggalkan Pulau Bintan, yang selama ini merupakan basis perlawanan terhadap Portugis dalam merebut kembali Malaka, pada tahun 1526. Mahmud hijrah ke Kampar, Riau, dan dinobatkan menjadi Sultan disana.

Mahmud memerintah di Kampar hanya 2 tahun, sampai wafatnya pada tahun 1528 dan dimakamkan disana. Makamnya masih ada dan dirawat penduduk setempat sampai sekarang. Oleh penduduk setempat Ia dikenal juga dengan nama 'Marhum Kampar'.

Sepeninggal Mahmud Shah, kedua putranya meninggalkan Kampar. Salah satunya mendirikan Kesultanan Johor, dan lainnya Kesultanan Perak, yang masih ada sampai saat ini di Malaysia. Walaupun tidak mempunyai kekuasaan politik lagi, namun segenap adat, budaya, dan pranata Kedua Kesultanan tersebut masih lestari dan dilindungi Pemerintah Malaysia. Warisan Kesultanan Malaka tetap tegak berdiri di era globalisasi ini.

Hang Nadim menunaikan amanat sejarah yang dibebankan kepadanya dengan paripurna selama periode tersulit kekuasaan Mansur Shah pasca direbutnya Ibukota Malaka (1511) selama 15 tahun perang dengan Portugis (1511-1526) dalam mempertahankan kelangsungan hidup pemerintahan Mansur Shah. Meskipun Ia tidak berhasil merebut kembali Malaka dan mengusir Portugis, perannya amat signifikan dalam mempertahankan kesinambungan kekuasaan Raja-nya dan keturunannya. Ia telah menjaga Tuah Sumpah Hang Tuah akan keabadian eksistensi Melayu: 'Takkan Melayu Hilang di Dunia'.

Insan Bangsa yang Mempunyai Sifat-Sifat Kepahlawanan: Berkemampuan Lawas juga Berkemauan Keras dengan dilandasi Rasa Cinta Tanah Air yang Patriotik, dan Pengabdian yang Tulus, telah menjadi Juruselamat dari Dinasti Malaka.

Indonesia, sebagai negeri pusaka dengan bhineka suku, ras, kultur, dan agama, meski mempunyai kondisi objektif sosial-budaya yang berbeda dengan Dinasti Malaka yang berpenduduk ras-tunggal (Melayu). Namun Indonesia juga mengalami pengalaman sejarah yang koheren dengan Sejarah Perang Malaka - Portugis 1511-1526 dalam Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-49, dimana segenap Bangsa ini: Tua, Muda, Pria, Wanita, dari semua Agama, Suku, Ras, dan lintas lapisan ekonomi dan sosial, begitu tersihir akan satu mantra sakti yang bernama: Kemerdekaan, telah rela mengorbankan segalanya: Harta, Keluarga, dan Juga Nyawa, demi sebuah Kemerdekaan. Mereka semua telah hidup menjalani sifat pahlawan, dan mati sebagai pahlawan, dikenang ataupun tidak dikenang, dicatat maupun tidak dicatat.

Marilah Kita Menjadi Pahlawan Saat Ini Juga, Demi Indonesia yang Lebih Baik Lagi!

Takkan Indonesia Hilang dari Dunia!

1 comment:

  1. Bang, izin share di Kaskus, berikut linknya:

    kaskus.us/showthread.php?p=353499325

    Terima kasih banyak!

    ReplyDelete