Sunday, February 14, 2010

Bersatu dan Gotong Royong - Warisan Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Bersatu dan Gotong Royong - Warisan Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Jakarta, 1 Oktober 2009

SARA adalah alat politik kotor kolonial Belanda yang kemudian diadaptasi oleh rezim Orde Baru. Pada hakikatnya, masyarakat Nusantara sejak berabad-abad lalu sudah hidup berdampingan dengan rukun dan gotong-royong satu sama lainnnya, dimana kebudayaan dagang pesisir pantai yang begitu egaliter dan terbuka memungkinkan terjadinya silang budaya antara satu budaya dan budaya lainnya.

Kedinamisan budaya Indonesia ini dapat dilihat bahwa Budaya Indonesia Modern saat ini adalah silang-budaya antara Budaya India (Hindu-Buddha), Tionghoa, Islam (Arab), dan juga Eropa (Belanda, Portugis, dsb). Denys Lombard dalam Magnum Opusnya (Nusa Jawa Silang Budaya - 3 Jilid Trilogy) menegaskan hal ini.

Satu hal yang menarik adalah temuan Prof Dr Slamet Muljana dalam Bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Prof Slamet Muljana, profesor pada Jurusan Ilmu Sejarah sejak tahun 1958 dan meninggal pada di Jakarta, 2 Juni 1966 dalam usia 65 tahun, menemukan bahwa sebagian besar dari Sunan-Sunan Walisanga yang menyebarkan Agama Islam di Jawa itu adalah orang Tionghoa yang telah memeluk agama Islam dan menikah dengan wanita pribumi setempat. Bahkan Raden Patah, Raja Pertama Kerajaan Demak (Kerajaan Islam pertama di Jawa) yang merupakan patron dan pelindung dari Walisanga dalam misi mereka menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, adalah juga seorang Tionghoa yang bernama asli Jin-Bun.

Tesis Slamet Muljana itu didasarkan pada laporan Penelitian Residen Poortman yang dimuat dalam buku Tuanku Rao (karangan M.O Parlindungan tahun 1964). Residen Poortman adalah Residen di Semarang pada masa kolonial Belanda, Ia ditugasi pemerintah Belanda untuk menyelidiki hal-ihwal Raden Patah. Untuk keperluan ini, ia mengunjungi Kelenteng Sam Po Kong di Semarang, dan mendapatkan akses semua dokumen-dokumen kuno di kelenteng tersebut, untuk kemudian memuatnya dalam kereta pedati.

Buku ini terbit tahun 1968 setelah Prof Slamet Muljana meninggal dunia. Kaum intelektual dan dunia ilmiah sama sekali tidak pernah membantah tesis Prof Slamet Muljana ini, namun rezim Orba yang berkuasa saat itu melarang buku ini dan menarik buku ini dari peredaran pada tahun 1971. Sudah menjadi rahasia umum, Orde Baru yang Despotik itu memecah masyarakat Indonesia dengan Politik SARA, persis seperti yang dilakukan Belanda. Selalu ditimbulkan kecurigaan antara Agama, Suku, Golongan, dan Ras.

Kini, Orde Baru sudah tumbang. Reformasi sudah berjalan sejak tahun 1998 dengan segala kekurangan dan kebaikan-kebaikannya. Buku Slamet Muljana dan MO Parlindungan telah dicetak ulang dan bisa dibeli dengan bebas di toko buku - toko buku terdekat. Zaman sudah berubah.

Marilah kita kembali pada asal-usul kita ribuan tahun lalu, pada zaman nenek moyang kita, dimana setiap suku, bangsa, dan agama, saling berinteraksi secara rukun, tolong-menolong, dan gotong royong, untuk bersama-sama membangun Indonesia Raya nan Jaya!

Watak Luhur Bangsa Indonesia sejak zaman Nenek Moyang adalah Bersatu dan Gotong Royong.

Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh!
INDONESIA BISA, PASTI BISA, dan HARUS BISA!
MERDEKA!

Wahai Insan Muda Indonsia;
Bersatulah dan Cintailah Negeri Ini!

Tulisan ini juga dimuat di Facebook Page: Insan Muda Indonesia

No comments:

Post a Comment